Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tentang tunjangan komunikasi dan operasional anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ternyata menimbulkan kotroversi di masyarakat. Karenanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta Mendagri mengkaji kembali efektifitas PP tersebut, dan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
Hal tersebut disamapaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jumat (12/1) di Jakarta. "Sekarang sedang dalam tahap dievaluasi dan dikaji lagi serta dikeluarkan bagaimana implementasinya nanti," kata Wapres.
Lebih jauh dikatakan Kalla, perintah Presiden untuk mengevaluasi dan mengkaji kembali PP 37 tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan adanya reaksi dari daerah-daerah. PP 37 tahun 2006 sebenarnya sudah lama dibicarakan. Sebelum adanya PP 37 tersebut, berdasarkan aturan lama, tidak ada suatu batasan mengenai besaran pemberian tunjangan tersebut.
Namun, tambah Wapres, untuk daerah-daerah yang mampu akhirnya memberikan tunjangan yang sangat tinggi. Sedangkan daerah lainnya sangat berbanding terbalik. "Karena itu dibuat standarisasi batasan-batasan tertentu," kata Wapres.
Sebenarnya, tambah Wapres, menurut undang-undang, hal itu menjadi kewenangan masing-masing daerah. Namun, tambah Wapres, sebelum adanya PP 37, yang terjadi justru liar tak terkendali.
Wapres menjelaskan bahwa sebelumnya dari pihak DPR mengajukan bahwa anggota DPR punya konstituen yang harus didatangi, dilayani dan sebagainya. Itulah yang dimaksud dengan biaya komunikasi.
Sebenarnya, tambah Wapres, yang menjadi masalah, besarannya menjadi sangat besar karena dirapel. Ini terjadi karena PP 37 tersebut mundur terus sehingga baru satu tahun kemudian disahkan.
Dalam PP no 37 tahun 2006 disebutkan bahwa setiap anggota dewan berhak menerima tunjangan komunikasi Rp6,5 juta per bulan. Dan untuk ketua ditambah dengan tunjangan operasional Rp12,5 juta. Sedangkan wakil ketua mendapatkan Rp6,4 juta.
© Copyright 2024, All Rights Reserved