Setelah Irian Jaya Barat, kini Provinsi Irian Jaya Tengah dideklarasikan di Timika, Papua, Sabtu (23/8). Namun, pendeklarasian itu diwarnai aksi penolakan sekelompok masyarakat yang hari Minggu kemarin memuncak berupa bentrok antara kelompok pendukung dan penentang pemekaran provinsi, yang mengakibatkan seorang warga tewas.
Saat acara deklarasi, sekitar 10.000 pendukung pemekaran provinsi itu melakukan aksi pawai keliling di Timika dengan menggunakan kendaraan bermotor. Mereka membentangkan spanduk bertulisan, "Selamat Datang Provinsi Irjateng". Spanduk itu diarak keliling Timika.
Pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah (Irjateng) dilangsungkan di halaman Gedung PT Tatadisantara oleh keenam bupati dan ketua DPRD yang ada di wilayah Provinsi Irjateng pada pukul 12.00 waktu setempat. Deklarasi dibacakan keenam bupati dan ketua DPRD yang telah membuat "Kesepakatan Bali" tanggal 15 Juli 2003.
Acara itu ditandai dengan pembukaan selubung papan nama "Kantor Gubernur Provinsi Irian Jaya Tengah" oleh Ketua DPRD Mimika Andreas Anggaibak, disaksikan para bupati dan ketua DPRD yang hadir. Di sisi kanan papan nama kantor gubernur didirikan patung Mbito ukiran khas dari suku Kamoro.
Luas Provinsi Irjateng 75.228 kilometer persegi dengan 244 kecamatan. Jumlah penduduknya 600.000 jiwa.
Seluruh proses deklarasi Provinsi Irjateng dipimpin Ketua Panitia Andreas Anggaibak. Ia didukung dan mendapat mandat dari enam bupati dan lima ketua DPRD lainnya, yakni Nabire, Paniai, Biak Numfor, Yapen dan Waropen, serta Mimika.
Dalam Kesepakatan Bali disebutkan, antara lain para bupati dan ketua DPRD dari enam kabupaten di wilayah Irjateng mendukung sepenuhnya pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, dan Kota Sorong. Mereka juga mendukung Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999.
Para bupati dan ketua DPRD meminta kepada pemerintah pusat agar dana otonomi khusus Papua tahun anggaran 2003 diberikan kepada ketiga provinsi hasil pemekaran.
Di depan sekitar 10.000 pendukungnya, Bupati Yapen Philip Wona, mengatakan, pembentukan provinsi baru itu sebagai langkah menuju Papua baru. Pemekaran provinsi tidak dimaksudkan untuk memecah belah orang Papua, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Pemekaran ini untuk mempercepat pelayanan dan memperpendek rentang kendali pembangunan kemasyarakatan. Karena itu, jangan melihat pemekaran ini sebagai sesuatu yang negatif, karena Undang- Undang Otonomi Khusus tetap diberlakukan pada masa pemekaran provinsi baru. Hak-hak dasar orang Papua tetap diperhatikan di dalam pemerintahan provinsi baru," kata Wona, seperti ditulis Kompas.
Ketua DPRD Mimika Andreas Anggaibak menambahkan, deklarasi Provinsi Irjateng tidak dibuat atas kepentingan para bupati dan ketua DPRD yang mendeklarasikan, tetapi untuk perbaikan kehidupan masyarakat Papua. Orang Papua dari Irjateng ingin maju dan berkembang seperti masyarakat Indonesia lainnya.
Menurut Anggaibak, pemekaran itu atas dukungan dan desakan masyarakat. Masyarakat merasa terus hidup di bawah tekanan kemiskinan dan keterbelakangan.
"Sementara itu, hak-hak kami dari wilayah Irjateng diambil dan dikuasai pemerintah pusat dan provinsi. Dana royalti sampai hari ini belum dicairkan pemerintah pusat. Pembagian dana otonomi khusus 60 persen untuk provinsi dan 40 persen untuk kabupaten sangat tidak masuk akal karena yang punya rakyat adalah kabupaten dan kota, bukan provinsi," kata Anggaibak.
Bentrok fisik antara massa pro dan kontra pendeklarasian Provinsi Irjateng kembali terjadi kemarin di halaman Kantor Gubernur Irjateng. Bentrok berawal dari kedatangan ribuan orang yang menolak Provinsi Irjateng ke halaman Gedung Kantor Tatadisantara. Mereka mencabut papan nama kantor Gubernur Irjateng, kemudian melempari para pendukung pemekaran provinsi. Akibatnya, dua orang luka-luka.
Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) Mimika Letkol T Gultom di Timika mengatakan, bentrok antara massa yang pro dan kontra terhadap pemekaran provinsi itu terjadi pukul 16.30. Ratusan orang yang menolak pemekaran provinsi tersebut turun dari gunung membawa senjata tradisional dan batu, kemudian mendatangi Kantor Tatadisantara.
Seorang dilaporkan tewas, yakni Jimy Aibak dari Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa), kelompok yang menolak pemekaran tersebut.
Ketua DPRD Mimika Andreas Anggaibak yang membuka selubung papan nama itu berdiri kukuh mempertahankan tiang papan nama bersama sekitar 30 orang dari kelompok pendukung. Anggaibak mengalami luka di bagian kepala akibat aksi
Di Jakarta sejumlah warga asal Papua menilai keputusan pemerintah memekarkan Provinsi Papua dengan membentuk Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah dengan dasar Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 cacat hukum.
"Pemekaran tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Itu artinya, pemerintah telah melakukan pelacuran hukum," kata Barnabas Suebu, mantan Gubernur Irian Jaya, Minggu.
"Saya tidak antipemekaran. Sebab, rencana pemekaran itu sudah dibahas lebih dari 20 tahun lalu," ucap Suebu, yang juga mantan Duta Besar RI untuk Meksiko.
Karena penelitian menyebutkan, pemekaran provinsi tidak bisa seketika menyejahterakan masyarakat Papua, kemudian dipilih pemekaran alamiah. "Agar bisa memberi pelayanan maksimal kepada masyarakat yang tinggal terpencar dan terpencil, lebih dulu pemekarannya pada tingkat kampung dan desa. Bukan pada tingkat provinsi yang pemekarannya pun seperti membagi kue saja," ucapnya.
Ia menambahkan, "Sekarang ini di Papua sudah terjadi bentrokan dan memang itulah yang diinginkan pemerintah atau orang di Jakarta yang merekayasa pemekaran tersebut," katanya.
Simon Patrik Morin, anggota DPR asal Papua, juga menolak langkah pemekaran tersebut. Ia berpendapat, pemekaran provinsi harus sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, seperti ditegaskan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Dalam pasal tersebut, kata Morin, sudah ditegaskan bahwa pemekaran provinsi akan dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Syaratnya juga sudah ditegaskan dalam pasal itu "Yakni dengan memperhatikan kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi serta perkembangan di masa dapan," ucap August Kafiar, mantan Rektor Universitas Cenderawasih, Jayapura.
© Copyright 2024, All Rights Reserved