PADA 4 Desember 2024, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan pidato di hadapan Majelis Tanwir dan Resepsi Milad Muhammadiyah ke-112 di Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dalam pidatonya, Prabowo menyampaikan:
“Tidak ada negara tanpa tentara yang kuat. Tak ada tentara yang kuat tanpa uang. Tak ada uang tanpa kemakmuran. Tak ada kemakmuran tanpa rakyat yang bahagia dan sejahtera. Dan tak ada rakyat yang bahagia dan sejahtera tanpa pemerintah yang bersih dan adil”.
Pernyataan tersebut mengundang perhatian luas karena secara implisit menyoroti hubungan erat antara kekuatan militer, kesejahteraan rakyat, dan tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance). Namun, benarkah supremasi militer harus menjadi fondasi utama negara yang kuat? Ataukah pendekatan ini justru membuka jalan menuju sentralisasi kekuasaan dan potensi otoritarianisme?
Tulisan ini mengupas gagasan tersebut secara kritis, dengan landasan sejarah, doktrin agama, dan prinsip konstitusional, serta mengaitkannya dengan cita-cita luhur Bela Negara dan semangat kembali kepada UUD 1945 yang asli sebagai landasan pembangunan nasional yang berdaulat dan berkeadilan.
Pidato Presiden Prabowo mengingatkan kita pada kejayaan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924) yang mampu bertahan selama lebih dari empat abad. Kekuatan militer menjadi pilar utama yang menopang stabilitas dan ekspansi wilayahnya. Namun, keberhasilan ini juga ditopang oleh tata kelola yang berlandaskan amanah dan keadilan.
Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 58) menyatakan “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil…”
Kejayaan Utsmaniyah tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada penegakan keadilan dan sistem ekonomi yang mengakar pada nilai-nilai syariat. Sebaliknya, kemunduran mereka dimulai ketika tata kelola pemerintahan diwarnai korupsi dan ketidakadilan.
Pidato Prabowo menempatkan kekuatan militer sebagai prasyarat negara yang kuat. Namun, dalam konteks demokrasi modern, supremasi militer sering kali diiringi oleh sentralisasi kekuasaan dan potensi otoritarianisme.
Sejarah mencatat bahwa rezim-rezim militeristik cenderung mengabaikan prinsip checks and balances. Uni Soviet, Jerman Nazi, dan rezim-rezim militer di Amerika Latin menunjukkan bahwa pengendalian negara oleh militer sering kali melahirkan represi dan ketimpangan sosial.
Sebaliknya, negara-negara seperti Jerman dan Jepang membuktikan bahwa kekuatan ekonomi dan inovasi, bukan militer, adalah kunci kejayaan pasca-Perang Dunia II.
Hadits Nabi Muhammad SAW (HR. Abu Dawud) “Seseorang yang kita angkat sebagai pemimpin, jika ia menerima hadiah dalam jabatannya, maka itu adalah korupsi”. Ini menjadi peringatan agar kekuasaan militer tidak digunakan sebagai alat untuk memperkuat oligarki dan memperkaya segelintir elite.
Jika kekuatan militer adalah tameng fisik negara, maka ekonomi dan ketahanan pangan adalah jantung yang menghidupkan bangsa. Krisis pangan dan ekonomi telah menjadi pemicu revolusi dan ketidakstabilan di berbagai negara, dari Revolusi Prancis hingga Arab Spring.
Al-Qur’an (QS. Quraisy: 4) “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Prinsip ini menegaskan bahwa kesejahteraan dan keamanan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam Bela Negara. Di Indonesia, ketahanan pangan dan ekonomi harus dibangun melalui pengelolaan sumber daya alam yang adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945 yang asli.
Presiden Prabowo juga menekankan pentingnya good governance dan pemerintahan yang bersih. Namun, tantangan terbesar adalah melawan gurita korupsi yang telah merusak sendi-sendi ekonomi dan kepercayaan publik.
Hadits Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim) “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.”
Korupsi harus diperangi sebagai extraordinary crime yang menghancurkan keadilan sosial. Reformasi birokrasi, penguatan lembaga penegak hukum, dan penindakan tegas terhadap pejabat yang korup adalah langkah mutlak dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Pidato Presiden Prabowo membuka kembali perdebatan tentang model pembangunan bangsa. Namun, keberhasilan visi ini hanya akan terwujud jika kita kembali pada nilai-nilai UUD 1945 yang asli.
Pasal 33 UUD 1945 menekankan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat, bukan dikuasai segelintir oligarki. Reformasi sistem ekonomi yang mengarah pada liberalisasi perlu dikoreksi agar selaras dengan cita-cita proklamasi dan prinsip kedaulatan rakyat.
Pidato Presiden Prabowo di Milad Muhammadiyah mengandung pesan penting tentang kekuatan militer, ekonomi, dan tata kelola pemerintahan. Namun, supremasi militer harus dipandang sebagai instrumen pelindung negara, bukan alat untuk memperkuat kekuasaan semata.
Indonesia membutuhkan (1) ekonomi dan ketahanan pangan sebagai fondasi pertahanan nasional. (2) Pemerintahan yang bersih dan berwibawa untuk mengembalikan kepercayaan publik. (3) Kekuatan militer yang profesional tanpa melanggar prinsip demokrasi. Dan (4) Reformasi konstitusi untuk kembali pada UUD 1945 yang asli.
Semangat Bela Negara harus menjadi komitmen kolektif untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan yang nyata, bukan sekadar retorika. Dengan pijakan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang asli, Indonesia dapat kembali menjadi bangsa maritim yang berdaulat dan disegani di dunia internasional.
*Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, Pemerhati Masalah Kebangsaan
© Copyright 2025, All Rights Reserved