Drama pengadilan terhadap mantan pemimpin Irak yang ditumbangkan oleh pasukan sekutu dibawah pimpinan ’The Superpower’ Amerika Serikat kini semakin kentara. Setelah berbulan-bulan proses persidangan, Saddam Hussein, ’sang tirani’ demikian julukan sejumlah pejabat AS terhadap tokoh irak ini dijatuhi hukuman gantung oleh Pengadilan Tinggi Irak atas kejahatan kemanusiaan di desa Dujail tahun 1982.
Memang, putusan Pengadilan Tinggi Irak tersebut belumlah ’kata final’. Masih ada upaya hukum, banding yang dapat dilakukan Tim Pembela Saddam. Namun, keputusan Pengadilan Tinggi tersebut telah menimbulkan berbagai komentar.
Tim pembela mantan Presiden Irak Saddam Hussein menuding vonis gantung atas kliennya itu ’ilegal dan jelas bermuatan politis’. Keputusan Pengadilan Tinggi Irak dianggap tidak adil karena selama ini menjadi "boneka Pemerintah AS". Bahkan, ketua tim pembela Saddam, Khalil al-Dulaimi, curiga keputusan hukuman mati itu telah direncanakan sejak awal.
Tudingan dari tim pembela mantan penguasa Irak itu bukan tanpa alasan. Nuansa kepentingan politik AS dalam peradilan terhadap Saddam sangat kentara. Bahkan, sedari awal proses pengadilan ini digelar, protes dari banyak pihak sudah bermunculan. Pengadilan ini diprotes karena dianggap ’aneh’.
Usai perburuan besar-besaran oleh tentara AS yang akhirnya berhasil menangkap Saddam, AS segera membentuk sekaligus membiayai operasional pengadilan atasnya. Karenanya, sangat sulit bagi berbagai pihak untuk mempercayai jika proses peradilan terhadap Saddam ini benar-benar netral dan adil.
Para pengkritisi itu menuding dan memandang pengadilan ini hanyalah ’sandiwara’ yang disutradarai AS dengan memakai ’aktor pemain’ dari aparat penegak hukum Irak.
Mencermati komentar Ahli hukum internasional dari badan kajian Catham House Sonya Sceats, persoalan yang sebenarnya justru berada di proses pengadilan itu sendiri. Pengadilan terhadap Saddam itu tidak memenuhi standar hukum Irak dan internasional. Bahkan, kuat dugaan dan ada bukti-bukti tekanan politik yang sangat jelas.
Berbagai kelompok HAM seperti Amnesty International menilai proses pengadilan sama sekali tidak netral. Bahkan, standar paling dasar tidak terpenuhi, yakni adanya perlindungan keamanan bagi pengacara dan saksi-saksi. Padahal, setiap individu berhak memperoleh pengadilan yang adil. Bahkan, Saddam sekali pun.
Vonis hukuman mati juga menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, terutama aktivis HAM Internasional yang memang menentang hukuman mati. Amnesty International, misalnya menyayangkan pengadilan itu karena seharusnya Pemerintah Irak yang baru bisa menegakkan hukum dengan adil.
Hal senada dikatakan Presiden Gerakan Internasional untuk Keadilan Dunia Chandra Muzaffar. Ia menilai pengadilan Saddam itu cacat karena telah melanggar hukum internasional. Walau Saddam memang seorang diktator yang brutal, tetapi tetap dia tidak pantas menerima hukuman mati.
Pusat Internasional Keadilan Transisional (ICTJ) yang telah memantau proses pengadilan Dujail juga mengusulkan agar panel hakim di pengadilan proses naik banding sebaiknya mempertimbangkan meminta pengadilan ulang untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Dalam bahasa, Hanny Megally dari ICTJ, terlalu banyak kesalahan yang terjadi sejak awal proses ini berlangsung sehingga sulit untuk mempercayai peradilan ini sebagai proses yang adil.
Drama peradilan ini masih akan berlangsung. Entah bagaimana akhir dari skenario ini, kita lihat bersama nanti.
© Copyright 2024, All Rights Reserved