BEBERAPA pekan terakhir, dunia dihebohkan oleh dua peristiwa besar di Suriah dan Korea Selatan. Peristiwa kejatuhan Presiden Bashar Al-Assad dan Presiden Yoon Suk Yeol dari singgasana kekuasaan.
Assad berkuasa sejak 2001. Sedangkan, Yoon berkuasa sejak 2022. Dua presiden ini dipilih melalui pemilihan presiden langsung. Tentu dengan sistem pilpres tersendiri yang unik dan khas sesuai dengan konstitusi dan tradisi masing-masing.
Sejarah elektoral menyebutkan bahwa pilpres langsung di Suriah, diselenggarakan pada Rabu, 26 Mei 2021. Pilpres ini dimenangkan Assad sebagai presiden incumbent dengan 95,1%. Rakyat yang menggunakan hak pilih sebanyak 14,2 juta. Tingkat partisipasi pemilih sebesar 76,64%.
Sementara, pilpres langsung di Korea Selatan, diselenggarakan pada Rabu, 9 Maret 2022. Pilpres ini dimenangkan Yoon sebagai presiden penantang dengan 16,3 juta suara atau 48,56%. Rakyat yang menggunakan hak pilih sebanyak 32,4 juta. Tingkat partisipasi pemilih sebesar 77,1%.
Semestinya, presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung memiliki legitimasi yang kuat. Namun ternyata Assad dan Yoon dengan mudah ditumbangkan. Assad dijatuhkan melalui pemberontakan militer dari Hayat Tahrir Al-Syam (HTS). Yoon dimakzulkan oleh parlemen Korea Selatan.
Dua presiden ini bernasib sial lantaran gagal mempertahankan kekuasaannya. Upaya Assad untuk membendung serangan HTS tak berhasil. Banyak anggota militer Suriah yang membelot mendukung pemberontak.
Upaya Yoon juga tak berhasil mengakhiri mosi tak percaya parlemen. Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang merupakan pendukungnya sebagian juga mendukung mosi tersebut.
Lalu pertanyaan mendasar, ke mana para pendukung Assad dan Yoon yang puluhan juta orang pada pilpres? Mengapa mereka membiarkan tokoh idolanya jatuh dari kursi presiden? Jawabannya, dukungan rakyat pada pilpres sangatlah cair.
Mereka rerata mencoblos atas dasar mobilisasi pemilih dengan ancaman atau iming-iming. Apalagi, dukungan politik rakyat merupakan hasil politik pencitraan dari framing dan personal branding.
Jujur harus diakui, legitimasi politik hasil pilpres langsung itu ibarat membangun istana pasir yang mudah dihempas oleh gelombang massa antipemerintah. Lebih-lebih, bila presiden yang didukung melakukan kesalahan nyata di hadapan publik.
Assad telah terlibat perang saudara dengan Mu'aaridatus Suriah (oposisi Suriah) sejak 13 tahun lalu. Perang yang berlangsung sejak Kamis, 15 Maret 2011 ini, telah menelan korban sebanyak 617.00. Dan, 300.000 adalah penduduk sipil. Parahnya, banyak negara luar ikut intervensi dalam perang saudara ini.
Yoon justru melakukan blunder politik dengan memberlakukan darurat militer. Kebijakan ini tak mendapat dukungan dari parlemen. Rakyat juga tak melihat relevansi darurat militer dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan Korea Selatan.
Jadi, kejatuhan Assad dan Yoon adalah ganjaran atas kebijakan yang salah dan merugikan negara. Mereka tak menyadari bahwa jabatan presiden hasil pilpres langsung sangat rentan kehilangan dukungan politik. Apalagi, kebijakan yang diambil bertentangan dengan mayoritas aspirasi rakyat.
Sebab itu, jangan sekali-kali membuat kebijakan yang tak populer. Alih-alih dapat apresiasi, justru bisa diberi sanksi oleh rakyat. Rakyat adalah penguasa sejati yang merupakan penjelmaan dari kekuasaan Tuhan. Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Dalam teologi kekuasaan, presiden sesungguhnya bukan penguasa. Ia tak lebih sekadar khadimul ummah (pelayan rakyat). Dan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), pelayan umat itu adalah shodiqul hukumah (pemerintah yang jujur).
Kasus kejatuhan Assad dan Yoon memberi pembelajaran teologis bahwa tak ada kekuasaan yang abadi. Kepercayaan rakyat adalah amanah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kepentingan rakyat ada core bisnis dari presidensialisme yang berbasis pilihan langsung.
Suriah dan Korea Selatan punya tradisi politik yang tak ramah pada pemimpin. Mereka sepanjang sejarahnya banyak menjatuhkan pemimpin dengan gerakan senjata dan massa. Tak jarang, pemimpin di akhir hayat harus terusir dari negeri sendiri. Ada pula yang dipenjara dan dihukum mati.
Oleh sebab itu, saya jadi teringat kata hikmah dari Kasman Singodimedjo, "Een Leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden. Jalan memimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin itu menderita".
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
© Copyright 2024, All Rights Reserved