Euforia masyarakat yang begitu antusias terhadap pemberantasan korupsi pada masa awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya mulai terbentur dengan kekecewaan-kekecewaan.
Jargon ’pemberantasan korupsi’ adalah tema besar yang diusung SBY – JK pada masa kampanye mereka. Namun, pemberantasan korupsi yang diharapkan luar biasa pada era pemerintahan SBY-JK itu ternyata belum berubah dari cerita lama. Kentalnya kepentingan-kepentingan politik membuat orang-orang yang punya beking politik kuat tidak dapat tersentuh aparat penegak hukum.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, Minggu (3/9). Aparat penegak hukum berhadapan dengan para koruptor yang mempunyai beking politik yang kuat sehingga membuat mereka tidak bisa tersentuh. "Akibatnya, hanya orang-orang yang tak punya beking politik yang terjerat hukum," katanya.
Pada masa-masa awal pemerintahan SBY-JK, masyarakat sempat menilai pemerintah menunjukkan keseriusan dalam memberantas korupsi. Namun kini, mereka yang tersangkut korupsi itu mulai melakukan perlawanan. {Corrupption fightback}, seperti pernah dikemukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki beberapa waktu lalu.
Denny mengakui sinyalemen yang pernah diungkap ketua KPK tersebut kini makin terlihata nyata. Keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi meredup kembali. "Karena para koruptor ini fights back," katanya.
Sejumlah langkah Kejaksaan Agung terbentur pada adanya politisi yang menjadi cukong koruptor. Akibatnya, orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tak dapat ditahan. Ada juga sejumlah tersangka yang sudah ditahan, tetapi ditangguhkan penahanannya. "Yang tersentuh tinggal yang tidak punya kekuatan berlindung," katanya.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (F-PDIP, Sumatera Utara II) Sabtu lalu juga menyatakan, pemberantasan korupsi kini hanya gencar pada tataran wacana. Namun, implementasinya bisa dianggap gagal, apalagi jika korupsi itu berkaitan dengan Cendana, istana, senjata, dan yang dekat dengan penguasa. "Bukan saya membela anggota DPRD, tapi kenyataannya yang korupsi Rp 10 juta, Rp 15 juta, ditahan, yang miliaran malah tak ditahan," kata Trimedya.
Soal ditangguhkannya penahanan sejumlah tersangka oleh Kejaksaan Agung, Trimedya malah mempertanyakan. "Untuk apa ada Surat Edaran Jaksa Agung 001/A/JA/02/2006 yang melarang jajarannya mengalihkan jenis penahanan dan menangguhkan penahanan."
Praktisi hukum Bambang Widjojanto menilai, ada kecenderungan aparat hukum lebih suka menetapkan tersangka dan menahannya, tapi lalu tidak bisa membuktikan tuduhan. "Emosi menangkap lebih gede daripada kemampuan menyidik. Ini disebabkan lemahnya intelijen penegak hukum akibat tak adanya prioritas dalam pemberantasan korupsi," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved