Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjelaskan dari 86 temuan pada audit laporan Keuangan DKI Jakarta tahun 2013. Dari temuan itu, ada 2 hal yang menjadi dasar bagi BPK menurunkan kualifikasi opini atas laporan itu menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WTP).
Demikian dijelaskan anggota V BPK, Agung Firman Sampurna, dalam jumpa pers “Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013" di Lobby Tower BPK, Jakarta, Jumat (04/07).
Agung mengatakan, penjelasan ini dirasa BPK penting karena ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang mengarah pada “meragukan kredibilitas BPK” dalam audit ini.
“Ada pertanyaan yang muncul dari salah satu kolega kita, yang arahnya itu sudah meragukan kredibilitas BPK selaku lembaga negara. Maka kami mengangap perlu, untuk memberikan jawaban secara terbuka, tentang persoalan itu," terang Agung.
Agung mengatakan, BPK tidak melayani permintaan untuk mengklarifikasi hal-hal seperti hasil audit, karena ada kekhawatiran apapun yang disampaikan BPK, akan merugikan salah satu pasangan calon Presiden yang tengah berkompetisi di Pilpres.
Dijelaskan Agung, muncul pertanyaan terkait persoalan signifikan apa yang membuat opini DKI turun peringkat. “Jawabannya bahwa temuan menurut pemeriksaan atas laporan keuangan DKI adalah 86 temuan. Dari 86 temuan tersebut, ada 2 hal yang kami jadikan dasar kualifikasi atau pengecualian," terang dia.
Temuan yang pertama, terang Agung, jumlah realisasi belanja senilai Rp38,30 triliun, diantaranya merupakan belanja melalui mekanisme uang persediaan Rp9,29 triliun. Dari jumlah tersebut terdapat pencairan SP2D UP/GU/TU melewati batas yang ditentukan yaitu melewati tanggal 15 Desember 2013 senilai Rp565,99 miliar.
Dijelaskan, entry jurnal realisasi belanja bukan berdasarkan bukti pertanggungjawaban yang telah diverifikasi, melainkan rekapitulasi uang muka yang disampaikan bendahara kepada pelaksana kegiatan dan realisasi belanja tidak didukung dengan bukti pertanggung-jawaban yang lengkap yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp59,23 miliar, antara lain pada Belanja Operasional Pendidikan, Kegiatan Penataan Jalan Kampung, dan Biaya Pengendalian Teknis Kegiatan. “Itu yang pertama,” tegas Agung.
Jadi, sambung dia, untuk yang pertama ini, ada sejumlah uang, jumlahnya cukup besar yang dicairkan dari tanggal 15 - 31 Desember 2013, di ujung tahun, dan kemudian tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban, sampai dengan akhir pertanggungjawaban. “Ada bukti pertanggungjawaban yamg masuk dan itu sampel, yang kami temukan adalah sebesar itu," ujarnya.
Kemudian persoalan kedua, lanjut Agung, Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2013 melaksanakan sensus atas aset tetap dan aset lainnya pada neraca posisi per tanggal 31 Desember 2012 senilai Rp342,28 triliun dan Rp401,76 miliar, dengan hasil terdapat koreksi tambah aset tetap senilai Rp8,89 trilyun dan aset lainnya senilai Rp24,93 triliun serta koreksi kurang aset tetap senilai Rp32,16 triliun dan aset lainnya senilai Rp152,14 miliar sehingga aset tetap hasil sensus menjadi senilai Rp319,01 triliun dan aset lainnya menjadi senilai Rp25,18 triliun.
“Saya ingin menyampaikan bahwa pada saat kami menerima neraca, itu ditampilkan sebesar Rp342 triliun, tetapi pada saat disampaikan kepada kami laporan keuangan unaudit, disini nilainya terjadi pengurangan dalam jumlah yang signifikan di aset tetapnya," ujarnya.
Agung menjelaskan, hal itu merupakan kejadian yang terjadi di tahun 2013, nilainya cukup besar. Ada selisih sekitar Rp8,89 triliun. Jumlah aset tetapnya adalan Rp331 triliun dari Rp342 triliun.
Agung mengatakan, tentunya ini menjadi pertanyaan bagi BPK. “Bagaimana mungkin dalam waktu 1 tahun terjadi penurunan aset dalam jumlah yang begitu besar, oleh karena itulah maka ini didalami,” tandas Agung seraya menegaskan, kejadiannya pada 2013.
© Copyright 2024, All Rights Reserved