Departemen Pertahanan (Dephan) menggelar diskusi Hubungan Kewenangan Dephan, Mabes TNI, dan Mabes Angkatan di Badan Pendidikan dan Latihan Dephan Jakarta, Selasa (19/12). Dalam diskusi tersebut, berkembang wacana kajian meninjau ulang organisasi termasuk kewenangan panglima TNI.
Wacana tersebut disampaikan Kepala Bagian Pendidikan dan Latihan Dephan Marsekal Muda (purn) Koesnadi Kardi. Menurut Koesnadi, yang ditinjau ulang di antaranya kewenangan panglima TNI soal kenaikan pangkat anggota yang seharusnya menjadi kewenangan angkatan.
"Panglima menyelenggarakan perencanaan strategi dan operasi militer, pembinaan profesi, dan kekuatan militer, serta memelihara kesiagaan operasional," ujarnya.
Dalam undang-undang, tambahnya, Presiden membawahi angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, sehingga Panglima dalam melakukan operasi atas perintah Presiden sesuai keputusan politik yang disetujui DPR.
"Kalau sudah ditugaskan, baru panglima memimpin kekuatan, seperti panglima memimpin operasi gabungan. Sementara posisi Dephan adalah sebagai penasihat presiden" ujarnya.
Begitu juga dalam UU Nomor 34 tahun 2004 menyebutkan kedudukan dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di bawah presiden, sedangkan kebijakan strategi pertahanan serta dukungan administrasi TNI di bawah koordinasi Dephan.
"Apa benar sekarang di bawah koordinasi Dephan? Maka jawabannya 60 persen tidak dan 40 persen ya," katanya.
Karena itu, lanjut dia, diperlukan adanya penjabaran aturan yakni UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, agar ke depannya tidak bermasalah.
Koesnadi menegaskan, reformasi harus terus berjalan dan ada empat hal yang membantu proses reformasi tersebut, yakni pertama perubahan sumber daya manusia (SDM) dengan latihan dan pendidikan yang harus terus berubah menuju perbaikan.
Kedua, adanya perubahan doktrin, ketiga perubahan organisasi yang difokuskan pada sifat dasar operasional, dan terakhir adalah perubahan sistem senjata. "Saat ini yang baru berubah adalah sistem senjata dengan pembelian kapal selam dan pesawat Sukhoi. Padahal yang paling penting adalah perubahan SDM, doktrin, dan baru organisasi," kata Koesnadi yang menyadari reformasi membutuhkan proses.
Adanya reformasi dan perlunya kajian ulang mengenai kewenangan TNI tersebut juga disampaikan oleh pengamat politik LIPI Indria Samego. Menurutnya, reformasi merupakan saat yang tepat untuk melakukan perubahan secara demokratis, damai, dan bertahap, karena sekian lama perubahan sebelumnya tertutup, monopolistik dan cenderung tidak demokratis.
Indria juga lebih menyoroti masalah efisiensi organisasi Mabes TNI untuk peningkatan profesionalisme dan upaya memaksimalkan kucuran anggaran.
"Sekarang profesionalisme prajurit TNI terhambat karena anggaran terlalu banyak tertahan di Mabes TNI. Karena itu, Mabes TNI tidak perlu organisasi yang besar. Hanya saja perampingan Mabes TNI itu, tidak bisa dilakukan secepatnya," ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved