DI tengah dinamika global dan pergulatan internal bangsa, muncul satu pertanyaan mendasar dari kaum muda Generasi Z: “Bisakah Indonesia menjadi negara besar di masa depan?”
Pertanyaan ini memantik semangat diskusi dan introspeksi tentang perjalanan sejarah bangsa, termasuk bagaimana bangsa ini menghadapi tantangan yang terus berulang sejak zaman kolonial hingga era modern.
Sejarah mencatat bahwa di masa penjajahan Belanda, proyek-proyek pembangunan seperti jalan Anyer-Panarukan yang diinisiasi oleh Gubernur Jenderal Daendels sering dianggap sebagai eksploitasi kerja paksa (rodi).
Namun, muncul narasi yang mengungkap sisi lain: Belanda disebut-sebut membayar biaya tenaga kerja melalui para bupati atau pejabat lokal, namun dana tersebut tidak disalurkan kepada rakyat. Akibatnya, kesan bahwa Belanda tidak membayar upah buruh pun melekat, sementara kecurangan justru terjadi di tingkat pejabat lokal.
Selama periode kolonial, pemerintah Belanda sering berinteraksi dengan pejabat lokal, seperti bupati, dalam pelaksanaan berbagai proyek dan kebijakan. Salah satu contoh yang sering dibahas adalah pembangunan Jalan Anyer-Panarukan di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Daendels memerintahkan pembangunan jalan yang menghubungkan Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur untuk memperkuat pertahanan dan memperlancar mobilitas di wilayah jajahan. Untuk proyek ini, pemerintah kolonial menyediakan dana sekitar 30.000 ringgit yang disalurkan melalui para bupati setempat. Namun, terdapat indikasi bahwa dana tersebut tidak sepenuhnya sampai kepada pekerja lokal. Beberapa sumber menyebutkan bahwa para bupati menyelewengkan dana tersebut, sehingga pekerja tidak menerima upah yang layak.
Pada era Cultuurstelsel, pemerintah kolonial mewajibkan petani menanam komoditas ekspor seperti kopi, gula, dan nila. Dalam pelaksanaannya, pejabat lokal, termasuk bupati, memainkan peran penting. Mereka sering kali menerima bonus atau komisi (cultuur procenten) berdasarkan jumlah hasil panen yang berhasil dikumpulkan di wilayah mereka. Insentif ini mendorong beberapa pejabat lokal untuk memaksa petani meningkatkan produksi, sering kali dengan mengabaikan kesejahteraan mereka.
Interaksi finansial antara pemerintah kolonial dan pejabat lokal tidak selalu transparan. Beberapa bupati memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri, baik melalui penyelewengan dana proyek maupun dengan memanfaatkan sistem bonus dari pemerintah kolonial. Praktik semacam ini menciptakan beban tambahan bagi rakyat, yang sudah menghadapi tekanan dari kebijakan kolonial.
Meskipun ada indikasi kuat mengenai praktik penyelewengan dana oleh pejabat lokal, dokumentasi rinci mengenai transaksi keuangan spesifik antara pemerintah kolonial dan bupati sering kali terbatas. Banyak catatan administratif dari era kolonial yang tidak lengkap atau tidak terpelihara dengan baik. Namun, karya sastra seperti “Max Havelaar” oleh Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker) memberikan gambaran tentang korupsi dan penindasan yang terjadi pada masa itu.
Secara keseluruhan, meskipun ada bukti dan indikasi mengenai penyelewengan dana oleh pejabat lokal selama era kolonial, detail spesifik mengenai transaksi keuangan antara Belanda dan para bupati sering kali sulit ditemukan dalam dokumentasi yang ada.
Ketika kita menyelami lebih dalam, praktik ini bukan hanya mencerminkan pengkhianatan para pejabat terhadap rakyatnya, tetapi juga memperlihatkan bagaimana warisan korupsi tersebut terus berulang bahkan setelah Indonesia merdeka. Fakta mencengangkan lainnya, beberapa bupati pada masa awal kemerdekaan menolak kemerdekaan RI karena kehilangan aliran dana dan privilese dari pemerintah kolonial.
Kondisi tersebut menjadi preseden yang membentuk mentalitas sebagian elit politik hingga era modern—mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kesejahteraan rakyat. Fenomena ini berlanjut dalam bentuk kolusi, nepotisme, dan korupsi yang merusak fondasi negara.
Korupsi sebagai Hambatan Kemajuan
Era reformasi yang diharapkan menjadi titik balik pemberantasan korupsi ternyata masih menghadapi tantangan besar. Data dari Transparency International (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, menandakan bahwa praktik-praktik koruptif masih merajalela.
Bukan hanya dalam aspek domestik, kepercayaan investor asing terhadap iklim investasi di Indonesia juga sering terganjal oleh regulasi yang tumpang tindih dan praktik pungutan liar di level birokrasi. Pejabat yang seharusnya menjadi fasilitator justru sering menjadi hambatan utama. Ini memperkuat anggapan bahwa masalah utama bukan terletak pada rakyat atau pihak asing, melainkan pada mentalitas korup di kalangan pejabat.
Namun, di balik tantangan tersebut, Indonesia memiliki harapan besar pada generasi muda, terutama milenial dan Gen Z. Dengan semangat Bela Negara, generasi ini diharapkan mampu menuntut akuntabilitas dan transparansi serta memanfaatkan teknologi untuk mengawal kebijakan dan menuntut transparansi dari para pemimpin.
Kemudian menghancurkan budaya korupsi dengan mengadopsi nilai-nilai integritas sejak dini. Hal itu untuk melawan segala bentuk korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya generasi muda juga dituntut untuk meningkatkan kompetensi di bidang teknologi, ekonomi digital, dan sains dalam menciptakan terobosan yang mempercepat pembangunan.
Selain itu diperlukan membangun kesadaran kolektif dengan menghidupkan kembali semangat gotong royong dan kolaborasi lintas sektor untuk membangun bangsa yang berdaya saing global.
Banyak kalangan menilai bahwa hukuman berat, termasuk hukuman mati dan pemiskinan harta bagi koruptor, perlu dipertimbangkan untuk memberikan efek jera. Beberapa negara seperti China dan Arab Saudi telah menerapkan hukuman tegas ini dan terbukti berhasil menurunkan angka korupsi secara signifikan. Apakah Indonesia siap untuk mengambil langkah serupa?
Menjadi negara besar bukanlah mimpi yang mustahil. Indonesia memiliki segala potensi—sumber daya alam yang melimpah, bonus demografi, dan posisi strategis secara geopolitik. Namun, kunci keberhasilannya terletak pada revolusi mental di kalangan pemimpin dan rakyatnya.
Melalui semangat Bela Negara, kita perlu menanamkan nilai-nilai integritas, disiplin, dan tanggung jawab untuk menciptakan sistem yang bersih dan berdaya saing tinggi. Generasi muda harus mengambil peran sentral sebagai agen perubahan dan penjaga moral bangsa.
Harapan untuk Masa Depan
Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi negara besar. Tantangan utamanya bukan pada rakyat, bukan pada sumber daya, dan bukan pada pihak asing, melainkan pada mentalitas pemimpin dan tata kelola pemerintahan.
Generasi milenial dan Gen Z adalah harapan bangsa. Dengan semangat Bela Negara, mereka dapat membawa Indonesia menuju cita-cita besar sebagai bangsa yang makmur, adil, dan disegani di kancah dunia. Mari kita bersama-sama memulai perubahan dari diri sendiri dan terus mengawal perjalanan bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045!
*Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, Pemerhati Masalah Kebangsaan
© Copyright 2025, All Rights Reserved