Isu tak sedap kembali menerpa Bank Indonesia. Kali ini seputar pencetakan uang pecahan Rp100 ribu. Beredar kabar pejabat senior BI lakukan kongkalingkong untuk memenangkan salah satu pihak dalam tender pencetakan uang itu. Dari aksi ilegal itu, mereka menikmati uang suap sebesar US$1,3 juta, atau setara Rp12 miliar.
Kasus suap ini mencuat, setelah investigasi Australian Federal Police (AFP) menyelidiki sejumlah kasus suap dari pejabat RBA yang muncul di sejumlah negara. Sejauh ini investigasi AFP memfokuskan pada suap dari Securency International and Note Printing Australia senilai 20 juta dolar Australia kepada sejumlah pejabat bank sentral di Vietnam, Nigeria dan Malaysia. Suap itu ditengarai untuk memenangkan kontrak pencetakan uang di negara-negara tersebut selama periode tahun 2003 dan 2006.
Belakangan ternyata itu terkait pula dengan pejabat BI. Harian The Age di Australia melansir sebuah dokumen faks rahasia dari pebisnis Jakarta ke pejabat Securency International and Note Printing Australia, Peruri-nya Australia yang mengungkapkan rencana untuk memberikan suap kepada pejabat senior BI tersebut. Setengah kepemilikan di Securency International dikuasai oleh Reserve Bank of Australia (RBA).
RBA merupakan bank sentral sekaligus otoritas pencetak uang di Australia yang mencetak uang di hampir 30 negara, termasuk Indonesia.
Dalam dokumen tersebut, si pejabat senior dari BI disebut sebagai "teman kami" dengan "pembayaran tidak resmi" dan "komisi".
Perwakilan perusahaan RBA di Indonesia, Radius Christanto antara tahun 1999 hingga 2006 secara eksplisit disebut mereferensikan nilai suap yang besar ke pejabat BI, seperti tertuang dalam fax ke Securency pada 1 Juli 1999. "Tolong dimengerti posisi sulit saya karena ini melibatkan nilai uang yang besar dan telah kami komitmenkan kepada teman kami," ujar Christanto dalam fax tersebut seperti dikutip dari The Age, Selasa (25/05).
Korespondensi dari Christanto, yang belum disertai dengan respons dari RBA itu, merujuk pada kesepakatan untuk memenangkan kontrak mencetak 500 juta lembar pecahan Rp100 ribu pada tahun 1999. Kontrak itu nilainya mencapai US$50 juta untuk RBA.
Pada tahun 1999, BI memang memutuskan untuk mencetak uang plastik Rp 100 ribu di Australia. Pencetakan uang di Australia itu sempat memunculkan protes dari Peruri yang mengaku sebenarnya sanggup mencetak dan menerima order dari Bank Indonesia.
Inisial ‘S’ dan 'M'
Masih menurut korespondensi Christanto melalui faks yang dilansir The Age, Christanto menerima komisi dari Securency/NPA senilai US$ 3,65 juta melalui rekening di bank Singapura, sesaat setelah dia membantu memenangkan kontrak dari BI pada tahun 1999.
Ia juga mengindikasikan dua pejabat senior berinisial 'S' dan 'M' menerima US$ 1,3 juta atau sekitar Rp 12 miliar dari anak usaha RBA untuk memenangkan kontrak itu.
Korespondensi antara Christanto dengan anak usaha RBA itu juga menunjukkan adanya kolusi antara pejabat BI, Christanto dan pejabat surat berharga RBA untuk menggelembungkan nilai kontrak pencetakan uang pecahan menjadi 20 per sen dengan sebuah kesepakatan, untuk kemudian dipangkas menjadi 10 per sen.
Dokumen tersebut juga menunjukkan rencana pejabat BI, Christanto dan pejabat senior RBA untuk mencegah mencegah perusahaan rival memenangkan kontrak.
Dalam kesepakatan itu, anak usaha RBA akan membayar penalti US$ 344.000 untuk keterlambatan pengiriman uang tersebut. Menurut seorang pejabat, penalti itu dibagi secara resmi dan tidak resmi kepada pejabat BI.
Kasus ini terjadi saat RBA dipimpin oleh Gubernur Bob Rankin, sementara Securency/NPA dipimpin oleh mantan Deputi Gubernur RBA, Graeme Thompson. Sedangkan Bank Indonesia ketika itu dipimpin oleh Gubernur BI Sjahril Sabirin. Sjahril memimpin BI pada periode 1998 hingga 2003 sebelum akhirnya diganti oleh Burhanuddin Abdullah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved