Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, pemerintah tidak pernah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang praktik aborsi. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014 lalu adalah tentang Kesehatan Reproduksi.
Bahwa di PP tersebut diatur masalah aborsi, Menkes menegaskan, bahwa hal itu hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yaitu yaitu untuk kedaruratan medis misalnya nyawa ibu atau janin terancam, serta pengecualian kedua untuk korban perkosaan. “Tidak boleh ada aborsi kecuali untuk kedua alasan itu,” kata Menkes seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Kamis (14/08).
Dalam PP No. 61/2014 itu ditegaskan, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Adapun kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan: a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. Keterangan penyidik, psikolog atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.
Terbitnya PP No. 61/2014 itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, khususnya Pasal 75 Ayat (1) yang ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Menkes menjelaskan, PP Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi itu disusun dalam kurun waktu 5 tahun sejak diundangkan. "Baru keluar 2014, jadi dibahas secara mendalam," ujarnya.
PP itu sendiri, sambung dia, dibahas oleh tim lintas sektoral, antara lain, berasal dari kementerian/lembaga, tokoh agama hingga ahli hukum. Karena itu, kalau ada pihak yang tidak sepakat dengan PP ini, menurut Menkes, pasti belum membaca PP-nya. “Ini turunan dari Undang-undang kesehatan, semua sudah jelas,” tegasnya.
Terkait dengan bunyi PP yang menyebutkan, masalah aborsi sebelum 40 hari tumbuhnya janin, Menkes menegaskan, itu bukan pembunuhan. Hal itu didasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa dalam jangka waktu tersebut, ruh belum ditiupkan ke dalam janin karena baru berupa segumpal darah.
Selain itu, Pasal 31 Ayat (2) dalam PP tersebut yang menyebut tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan bila kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir, karena kehamilan semacam ini terjadi akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Menurut Nafsiah, aborsi akibat perkosaan harus dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter serta keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.
"Jadi, memang ada persyaratan-persyaratannya, bukan sembarangan dan ini amanah undang-undang. Tidak perlu dikontroversikan," terang Nafsiah.
Menkes mengingatkan, pada masa lalu, bisa saja seorang perempuan, diperkosa, lalu hamil. Tapi masalahnya, kata dia, apakah dia harus terpaksa seumur hidup menanggung biaya anak yang merupakan akibat perkosaan.
"Apakah anak ini akan menderita seumur hidup karena dia diperlakukan tidak benar baik oleh masyarakat sebagai anak haram atau anak korban perkosaan? Jadi ini harus dipertimbangkan," kata Nafsiah.
Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, ujar Menkes, harus dilakukan. Namun kalau perkosaan terlanjur terjadi, maka semua harus bijak dalam melihat masalah ini.
© Copyright 2024, All Rights Reserved