JOHN Jacob Astor IV seorang milioner Amerika Serikat berada di “Titanic” ketika kapal itu karam dan akhirnya tenggelam di Samudera Atlantik Utara (1912). Uang di rekening sekitar $87 juta saat itu atau kira-kira setara $2,75 miliar pada saat ini.
Namun, ketika menghadapi ancaman nyata kematian, ia, saat itu berusia 48 tahun, memilih apa yang dianggapnya secara moral benar.
Dia menyerahkan tempatnya di sekoci untuk menyelamatkan dua anak kecil yang ketakutan, yang tak dikenalnya.
Milioner Isidor Straus (67 tahun), pemilik “Macy’s”, jaringan toserba terbesar di Amerika, yang juga berada di “Titanic”, berkata: “Saya tidak akan pernah masuk ke dalam sekoci sebelum orang lain."
Isterinya, Ida Straus, juga menolak untuk naik ke sekoci. Ia memberikan tempatnya kepada pembantu barunya, Ellen Bird. Ia memutuskan untuk menghabiskan saat-saat terakhir hidupnya bersama suaminya.
Orang-orang superkaya ini lebih memilih untuk melepaskan kekayaan mereka, bahkan nyawa mereka, daripada mengorbankan prinsip moral mereka.
Pilihan mereka yang mendahulukan nilai-nilai moral, kata penulis Paulyn Pickle, menunjukkan kecemerlangan peradaban manusia dan sifat manusia.
Mengapa kita awali tulisan sederhana ini dengan penggalan kisah klasik orang-orang bermoral penumpang kapal naas Titanic?
Dalam kisah tersebut ada nilai universal moral dan karakter yang mampu menjadi pelajaran dan panutan bagi siapa saja. Bicara moral tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kemampuan intelektual. Pembinaan moral yang baik dan konsisten akan bertransformasi menjadi pembentukan karakter positif yang kokoh.
Pembinaan moral dan karakter tidak bisa dilakukan instan tanpa pola pembiasaan yang komprehensif dan mesti dilakukan sejak usia dini. Pendidikan moral tidak bisa didominasi hafalan, tetapi harus diwarnai dengan contoh perilaku dan keteladanan.
Mengutip istilah Yudi Latief, “proses pendidikan karakter itu harus dimulai dari ngelakoni, ngerasa dan ngerti.”
Lalu apa sih sebenarnya karakter itu? Masih mengutip Yudi Latief, “Karakter gampangnya dipahami sebagai disposition of moral personality.”
Karakter selalu diasosiasikan dengan nilai positif dan nilai kebajikan. Perihal nilai yang tertanam dalam karakter harus "dicetak" dalam bentuk perilaku sehari-hari.
Kerangka nilai tersebut bisa dari agama secara praktis yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan keteladanan.
Masalahnya, selama ini, nilai-nilai pendidikan agama di lingkungan sekolah terutama sekolah umum, satu sisi masih berbasis hafalan tetapi di sisi lain masih mengalami krisis keteladanan. Harusnya nilai itu lebih banyak dicetak dalam bentuk perilaku sehari-hari.
Kaitannya dengan perilaku, lanjutnya, manusia memiliki dua sisi kedirian yaitu sisi personal dan publik. Secara personal, setiap orang dilahirkan dengan kecerdasannya masing-masing.
Setiap orang perlu mengenal diri dan memahami moral purpose atau tujuan moralnya. Jika diberikan kecerdasan dalam bermusik, tentu harus merefleksikan, memahami dan menjadikan kelihaiannya dalam musik itu sebagai jalan moral atau jalan mewujudkan kebermaknaan hidup.
Sehebat apapun potensi seseorang, jika tidak dibimbing oleh nilai moral personal, maka potensi itu tidak akan berkembang maksimal. Sehebat apapun dan sepintar apapun orang kalau tidak jujur, tidak rajin dan tidak bertanggung jawab, potensinya tidak akan membawa maslahat bagi dirinya pun bagi orang lain.
Karakterlah yang memungkinkan potensi diri itu berkembang.
Setelah mengenal potensi, mengembangkan diri dan menemukan tujuan moral. Maka berikutnya adalah meluapkan karakter personal itu ke dalam lingkungan sosial.
Karakter personal harus diarahkan dan membentuk karakter kolektif kelompok dalam lingkungan sosial. Karakter dan moral kolektif nantinya menjadi moral publik dan bisa mempengaruhi karakter personal.
Pribadi yang baik harus didukung dengan lingkungan yang baik pula. Bagaimana lingkungan bisa menjadi baik, tentu dari sekumpulan karakter personal yang mewarnai di dalamnya. Lingkungan perlu didesain dan diwarnai nilai-nilai moral kolektif.
Dalam kaitan pembahasan hal ini kita perlu acungi jempol dengan upaya pemerintah yang telah menginisiasi sebuah program yang bertajuk 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat.
Melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), sebuah inisiatif strategis untuk mewujudkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul, yang merupakan bagian dari Asta Cita ke-4 dalam visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, di Jakarta, pada Jumat 27 Desember 2024.
Gerakan ini bertujuan untuk menanamkan kebiasaan positif yang dapat membentuk karakter anak-anak Indonesia agar menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan berkarakter unggul.
Peluncuran Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat menjadi tonggak penting dalam upaya menciptakan generasi emas Indonesia menuju tahun 2045.
Gerakan ini berfokus pada tujuh kebiasaan utama yang diharapkan dapat diinternalisasi oleh anak-anak sejak dini, yaitu Bangun Pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan Sehat dan Bergizi, Gemar Belajar, Bermasyarakat, dan Tidur Cepat.
Pertanyaan selanjutnya apa korelasi 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat itu terhadap pembentukan moral dan karakter anak-anak bangsa?
Dalam pandangan penulis bahwa faktor penting dari 7 kebiasaan tersebut yang mampu memberikan dampak emosional, moral, karakter dan psikologis bagi anak adalah kebiasaan Beribadah. Negara telah menjamin kebebasan setiap warga negara untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing.
Dalam konteks pendidikan agama bagi anak-anak, menanamkan kebiasaan ibadah sejak dini adalah hal yang sangat penting. Dengan membiasakan anak-anak untuk beribadah, kita tidak hanya memenuhi kewajiban agama tetapi juga membentuk karakter dan moral yang kuat pada mereka.
Ibadah yang dilakukan secara rutin dapat menanamkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan ketekunan. Selain itu, melalui ibadah, anak-anak belajar untuk menghormati waktu, menumbuhkan rasa syukur, dan meningkatkan hubungan spiritual mereka dengan Sang Pencipta.
Khususnya ibadah agama Islam, dalam sebuah laporan penelitian di Jurnal Intelek Insan Cendekia (JIIC) tentang Implementasi Nilai-nilai Moral dan Agama pada Anak Usia Dini, menyebutkan hasil analisis menunjukkan bahwa shalat berkontribusi signifikan terhadap pembentukan karakter individu.
Sekitar 75% responden melaporkan bahwa shalat membantu mereka mengembangkan sikap disiplin dan tanggung jawab. Responden juga mencatat peningkatan dalam ketulusan dan kesabaran mereka, dengan 80 persen merasa bahwa praktik shalat membantu mereka lebih bersabar dalam menghadapi tantangan sehari-hari.
Dengan demikian bahwa kebiasaan beribadah ini tidak terkecuali bagi pemeluk agama lain, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain akan mampu membentuk moral dan karakter positif yang kuat bagi anak-anak kita.
Mampu menempatkan bahwa moral, etik dan karakter baik adalah segalanya dalam kehidupan keseharian kita sebagai warga negara. Jauh di atas kemapanan intelektual, kekayaan, kuasa dan tahta.
Semoga generasi emas kita pada 2045 nanti akan melahirkan generasi-generasi yang lebih mementingkan prinsip nilai moral ketimbang intelektual semata.
Karena kami yakin bila produk generasi kita lahir lebih banyak yang menjunjung tinggi nilai moral dan karakter, maka bangsa ini akan mampu meminimalisir generasi koruptif dan Machiavellianisme.
*Penulis adalah kader Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
© Copyright 2025, All Rights Reserved