Hasanudin alias Hasan alias Slamet Raharjo, terdakwa otak kasus mutilasi tiga siswi SMU Poso, dituntut hukuman 20 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Senin (19/1). Mengenakan baju koko putih gading dan terlihat tenang, Hasanudin menolak dinyatakan sebagai otak mutilasi tersebut.
Sesuai persidangan, kepada wartawan, Hassanudin mengaku tuntutan tersebut terlalu berat. Dia berharap majelis hakim yang dipimpin Binsar Siregar tidak mengabulkan tuntutan JPU. "Jangan terlalu berat, ya," ujarnya sambil berjalan menuju sel tahanan di PN Jakarta Pusat.
Pria asal Jawa Tengah yang menjadi ustad di Poso usai konflik Poso itu berharap majelis hakim bijaksana. Karena Hasan takut bila teman-temannya yang ada di Poso tidak puas dan berbuat kerusuhan lagi. "Saya tidak ingin ini jadi persoalan baru. Takutnya, teman-teman yang tidak puas akhirnya berbuat (kerusuhan, Red) lagi," kata Hasanuddin.
Selain itu, Hasanudin juga bersikukuh menolak anggapan bahwa dirinya sebagai otak di balik pemenggalan kepala tiga siswi itu. "Bukan saya, tapi Ustad Sanusi," katanya singkat.
Dalam persidangan yang dijaga puluhan aparat Brimob dari Polda Metro Jaya tersebut, JPU menilai Hasanudin memenuhi semua unsur yang didakwakan. Dalam persidangan juga terbukti bahwa Hassan yang menyerahkan uang kepada para eksekutor sebanyak Rp 200 ribu. Uang itu untuk membeli enam parang (Rp 180 ribu) dan kantong plastik (Rp 20 ribu). Dalam hal itu, kualifikasi sebagai aktor intelektual juga terpenuhi oleh Hassan.
Payaman selaku Ketua JPU menilai, meski dalih terdakwa adalah balas dendam atas terbunuhnya kaum muslim di Poso, perbuatan terdakwa memenuhi unsur ketiga, yakni melakukan kegiatan teror dengan cara menimbulkan ketakutan masyarakat, khususnya di wilayah Bukit Bambu, Poso. Apalagi, para eksekutor mutilasi menaruh potongan kertas bertuliskan ancaman akan ada lagi pembunuhan terhadap 100 orang Kristen.
Meski terancam menghabiskan hidup 20 tahun di penjara, Hassanudin relatif beruntung. Dia lolos dari ancaman hukuman maksimal, yakni hukuman mati atau seumur hidup. Menurut Payaman, ada tujuh hal yang meringankan terdakwa. Dia sudah dimaafkan oleh keluarga korban dan penduduk Bukit Bambu, Poso. "Terdakwa juga mengakui dan menyesali perbuatannya," tambah Payaman.
Penasihat hukum terdakwa, Asluddin, seusai sidang berpendapat tuntutan JPU berlebihan. "Dakwaannya sebagai aktor intelektual. Seharusnya konstruksinya pasal 55 ayat 1 tentang turut serta atau yang hanya mengetahui dan menyetujui bukan Perpu Terorisme," tambahnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved