Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta membangun Mass Rapid Transit (MRT) sedang menjadi isu mengatasi kemacetan dan ketersediaan sistem tranportasi massal. Diharapkan, proyek tersebut tidak hanya mempertimbangkan aspek tranparansi saja tetapi juga kajian geologi dari para ahli untuk keberlangsungan MRT tersebut dimasa datang. Saatnya pemimpin DKI memadukan semangat perubahannya dengan kebijakan yang berbasis riset.
Demikian disampaikan oleh Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief dalam perbincangannya dengan politikindonesia.com, Jumat pagi (14/12) “Kita tidak berharap proyek ini terjadi korupsi, dan juga pada perjalanannya nanti proyek ini jangan sampai tergannggu oleh faktor alam,” ujar Andi.
Andi mencontohkan proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor. Proyek Hambalang ini tidak hanya menjadi sorotan soal dugaan korupsinya. Pengabaian kajian ahli geologi dan kerentanan tanah juga menjadi masalah. “Kita ketahui beberapa bangunan di Hambalang itu amblas karena dibangun diatas tanah yang rentan.”
Andi Arief berharap peristiwa seperti itu tidak berulang lagi. Merujuk pada hasil penelitian Geotek LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Andi menyebut, wilayah Jakarta memiliki formasi geologi berusia muda, dimana lapisan paling atas umumnya berupa tanah lunak yang terdiri dari lempung dan lempung pasiran. Lempung ini berasal dari endapan pantai dan endapan akibat banjir yang berasal dari periode holosen akhir (berusia sekitar 12 ribu tahun).
Dikatakan Andi pula, penelitian Geotek LIPI menyebut, pada lapisan bawahnya terdapat endapan aluvial volkanik yang berasal dari pleistosen akhir (berusia lebih dari 12 ribu tahun).
Kemudian dibawahnya terdapat endapan marine dan non-marine berumur Pleistosen Awal (sekitar 2.588 juta tahun). Di bagian paling bawah adalah batuan berumur tersier (1,8 juta - 6,5 juta tahun).
“Artinya, Jakarta berada di atas tanah yang sangat lemah dan rentan terhadap guncangan gempa dan kerentanan gerakan tanah," terang mantan aktivis mahasisiwa 1998 ini.
Jakarta, sambung Andi, terbagi dalam 2 wilayah. Bagian utara, permukaan tanahnya merupakan tanah lunak berusia holosen. Sedangkan Jakarta bagian selatan, lapisan tanahnya relatif lebih padat dan berusia lebih tua (pleistosen).
“Jika kondisi ini berkonsolidasi dengan pemanfaatan air yang berlebihan, dimana fungsi pengawan lingkungan yang masih belum optimal bukan tidak mungkin seperti ramai dibicarakan Jakarta 2030 yang akan makin berada jauh dari permukaan air laut,” tegasnya.
Dalam pandangan Andi, sudah saatnya Gubernur DKI Joko Widodo dan Wakilnya Basuki T Purnama memadukan semangat perubahan mereka dengan kebijakan yang berbasis riset, baik yang sudah ada maupun riset yang lebih komprehensif.
Andi menyebut, beberapa waktu lalu mantan Ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) DR. Andang Bachtiar juga sempat mengusulkan riset mendalam tentang kondisi subsurface bawah tanah jakarta dan sekitarnya
Andi mencontohkan pembangunan MRT dan infrastruktur lainnya semestinya mempertimbangkan kondisi geologis, tidak semata karena desakan penyelesaian kemacetan. “Ini bukan berarti program tersebut harus berhenti, namun kajian yang mendalam harus dilakukan, termasuk pilihan teknologi yang memenuhi unsur mitigasi. Pasti ada pilihan teknologi di tengah problem kebumian yang ada,” ujar dia.
Bagi Andi, persoalan transportasi massal bermodal semangat saja tidaklah cukup, namun konsepnya juga harus kuat. Para ahli geologi, geodesi dan ahli lainnya, diminta atau tidak diminta juga jangan ragu mengingatkan kalau ada problem yang dapat mengganggu jalannya proyek ini.
“Sebagai Pra-Studi Kelayakan (feasibility study-FS), apa yang ada dalam laporan akhir pendayagunaan Peta Mikrozonasi Gempa di DKI Jakarta pada Desember 2010 yang dilakukan Prof Masyhur Irsyam dkk serta yang dilakukan LIPI, bisa dimanfaatkan, dan tidak membutuhkan biaya tinggal diundang saja untuk didengar penelitiannya. Itulah kajian yang sudah kita miliki,” ujar Andi.
Andi bahkan mendengar ada kajian mikrozonasi yang sangat detail yang lebih dahulu dilakukan para ahli Jepang untuk kepentingan investasinya. “Bayangkan, Jepang saja sudah memiliki mikrozonasi Jakarta, kita baru memulai,” ungkapnya.
Makna perubahan dari Jokowi, sambung Andi, tentu tidak hanya untuk manusianya saja, tapi juga untuk kelestarian alam dimana sintesisnya adalah keberlanjutan pembangunan infrastruktur dengan lifetime yang terukur.
“Sekali mendayung kalo pak Jokowi lakukan hal ini, pertama pembangunan berlangsung dengan hitungan yang cermat, kedua mempersiapkan masyarakat menghadapi bahaya gempa Jakarta yang sekarang bukan lagi berada dalam wacana debat kusir, tetapi sudah menjadi potensi yang harus diantisipasi,” tandas Andi Arief.
© Copyright 2024, All Rights Reserved