Langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sedang melakukan uji publik Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Lembaga Penyiaran Swasta-Induk Televisi Berjaringan patut diapresiasi. Direktur Remotivi Muhamad Heychael menilai bahwa apa yang dilakukan oleh KPI adalah bentuk terobosan dalam membuka ruang bagi partisipasi publik.
“Selama ini suara publik jarang didengar oleh industri televisi. Keluhan publik atas tayangan bermasalah kerap dianggap angin lalu. Uji publik yang dilakukan KPI ini merupakan bentuk penghormatan pada publik sebagai pemilik sah frekuensi sekaligus menjadi momen berharga bagi publik untuk turut mengevaluasi layak atau tidak sebuah stasiun televisi mendapat perpanjangan izin,” ujar Heychael.
Uji publik terbuka yang dibuat KPI juga mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya warga yang membagikan informasi mengenai perpanjangan izin siaran ini baik melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter juga aplikasi pesan Whatsapp. Apresiasi semacam ini juga tanda bahwa publik sadar akan haknya dalam penyiaran.
Mengacu pada koridor hukum perpanjangan izin siar, yakni Permen Kominfo no 28 tahun 2008, Uji publik yang dilakukan KPI adalah tindak yang sah secara hukum. Komentar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq yang menilai langkah KPI melakukan uji publik sebagai tindakan illegal patut dipertanyakan. “Ini menunjukkan bahwa DPR gagal mendengar suara publik yang selama ini kerap dirugikan oleh tayangan-tayangan televisi,” ujar Heychael.
Mengacu pada Undangan-Undang Penyiaran tahun 2002, publik adalah pemilih sah frekuensi, karena itu suara publik patut diakui dan dihormati. Uji Publik KPI adalah mekanisme yang positif untuk menjaring suara dan aspirasi publik. “Menyebut uji publik sebagai tindakan illegal dan mengesampingkan suara dari publik menunjukkan ke arah mana keberpihakan DPR,” pungkas Heychael.
Meskipun begitu, menurut Heychael, uji publik semacam ini masih meninggalkan sejumlah catatan yang mesti diperbaiki oleh KPI. Salah satu di antaranya adalah mekanisme dan aturan uji publik yang tidak jelas. “Yang sulit adalah menindaklanjuti banyaknya masukan dan evaluasi publik yang masuk ke KPI. Jika tidak ada mekanisme yang jelas mengenai tindak lanjut dari usulan yang masuk suara publik akan sia-sia,” lanjut Heychael.
Mekanisme ini juga berkaitan dengan sejauh apa suara publik dapat menentukan layak atau tidaknya perpanjangan izin stasiun televisi. Heychael menilai, suara publik yang telah disampaikan melalui mekanisme uji publik oleh KPI, harus menjadi salah satu dasar hukum untuk menentukan layak atau tidaknya perpanjangan izin diberikan.
Tidak hanya meminta masukan publik, Heychael juga mendorong KPI untuk mengeluarkan catatan atas stasiun-stasiun televisi yang hendak memperpanjang izin selama 10 tahun terakhir. Catatan ini, menurutnya, bisa menjadi bahan berharga bagi publik untuk memberikan masukan dan evaluasi. Catatan tersebut meliputi sanksi-sanksi yang selama ini dikeluarkan KPI pada stasiun televisi dan ketaatan stasiun televisi pada ketentuan televisi berjaringan, yang antaranya mewajibkan setiap televisi berjaringan menampilkan 10 persen tayangan lokal.
Wisnu Prasetya Utomo, Peneliti Remotivi, menilai bahwa dalam tata laksana pemerintahan yang baik, transparansi adalah modal utamanya. Menurut Peraturan Menteri Komunikasi No 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Persayaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran Pasal 17, untuk mendapatkan perpanjangan izin siaran, lembaga penyiaran harus mendapatkan rekomendasi dari KPI. Rekomendasi dari KPI ini harus bisa dinilai atau diuji oleh publik. Apakah suara publik yang diwakilkan pada KPI telah mendapat respon yang sepantasnya?
Menurut Wisnu, hal yang sama juga berlaku bagi Kominfo. Kominfo harus membuka seluas-luasnya informasi mengenai ketaatan stasiun televisi pada ketentuan berjaringan. “Apakah stasiun televisi yang mengajukan perpanjangan izin telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana Permen (Peraturan Menteri) Komunikasi no 32 tahun 2007?” pungkas Wisnu. Permen tersebut antaranya mewajibkan televisi berjaringan untuk memiliki badan hukum lokal. Hal ini demi menjamin keadilan ekonomi antara pusat jaringan dan daerah.
Sayangnya, Riset Ade Armando bersama SMRC mengindikasikan banyak stasiun televisi tidak taat regulasi. Riset yang dilakukan di 3 kota, yakni Bandung, Palembang, dan Semarang tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan stasiun televisi mangkir dari kewajiban untuk memenuhi kuota siaran lokal minimal 10%, memiliki stasiun siaran di daerah, dan mempekerjakan tenaga lokal. Pengawasan atas berjalan regulasi adalah wilayah pemerintah, dalam hal ini Kominfo, ketaatan atas regulasi pulalah tolak ukur yang tepat untuk mementukan apakah perpanjangan izin akan diberikan atau tidak. Tanggungjawab pemerintah pulalah menyediakan informasi bagi publik mengenai sejauh mana stasiun televisi patuh pada regulasi terkait SSJ.
Lepas dari catatan tersebut, Heychael menyebut bahwa mekanisme uji publik terbuka seperti saat ini harus dimanfaatkan publik secara maksimal. Apalagi, ini merupakan kesempatan langka. “Peluang untuk mengevaluasi televisi dan turut menentukan perpanjangan izin siar hanya terjadi 10 tahun sekali. Publik harus mengunakan kesempatan ini sebaik-baiknya” Ujar Heychael.
Selain memberikan masukan dan evalusi, Heychael juga menekankan pentingnya bagi publik untuk mengawal proses perizinan itu sendiri agar berjalan secara transparan dan berlandaskan koridor hukum yang berlaku.
© Copyright 2024, All Rights Reserved