IDEOLOGI negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33 UUD 1945) telah menegaskan sebuah platform bagi sistem ekonomi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yaitu, terdapat pada ayat 1 bahwa "perekonomian disusun (sebuah bangunan) sebagai usaha bersama (prinsip) berdasarkan atas asas kekeluargaan. Artinya, apabila pengejawantahan dari Pasal 33 UUD 1945 ini tidak tampak nyata dalam praktek pengelolaan perekonomian bangsa dan negara tentulah telah terjadi penyimpangan yang mendasar dan konstitusional.
Lalu, apa langkah yang harus diambil untuk mengatasi agar penyimpangan tidak semakin jauh dan menjadi kebiasaan yang justru memperburuk situasi dan keadaan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia? Salah satunya adalah dengan mengembalikan peran dan fungsi Koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pun telah menempatkan Koperasi menjadi misi ke-3, yaitu relevan lagi, yaitu meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, serta mengembangkan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peran serta aktif koperasi.
Paradigma dan Kinerja Koperasi
Menurut catatan Kemenkop UKM, terdapat 1.500 koperasi baru yang didaftarkan sehingga total koperasi terdaftar di Indonesia telah mencapai 130.354 unit. Justru angka ini menunjukkan semakin tingginya tingkat partisipasi masyarakat menolong dirinya sendiri (self help) dan mandiri melalui model entitas ekonomi koperasi sebagai solusi untuk mencapai kesejahteraan bersama. Bahkan, selama kepemimpinan Presiden almarhum Soeharto yang pro kemandirian koperasi telah banyak prestasi kinerja perekonomian yang ditorehkan serta diakui dunia internasional seperti Bank Dunia (the World Bank). Diantaranya, yaitu tercatat 5 kali pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka 8% atau lebih.
Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia mencapai 10,92% pada tahun 1968. Setelah itu, Indonesia kembali mencapai pertumbuhan ekonomi terbaik di kisaran lebih dari 8% itu pada tahun 1973 (8,1%), 1977 (8,3%), 1980 (10%), dan 1995 (8,2%). Kinerja pertumbuhan dan pemerataan ekonomi ini dicapai melalui berbagai program penegakkan ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) secara konsisten. Dan, Koperasi betul-betul menjadi soko guru bagi perekonomian nasional bangsa dan negara mulai dari desa oleh kinerja Koperasi Unit Desa (KUD). Meskipun, tidak dipungkiri perlunya beberapa perbaikan kebijakan bagi pengembangan kelembagaan dan manajemen KUD agar tidak didominasi oleh Ketua saja.
Keberadaan (eksistensi) Koperasi haruslah memberikan banyak manfaat dan kesejahteraan bagi para anggotanya sebagai pemilik. Tujuan kesejahteraan anggota ini diterapkan melalui pengembangan partisipasi anggota sesuai dengan kepentingan ekonomi yang sama. Penerapan paradigma dan prinsip secara konsisten dapat dibuktikan oleh data koperasi berkinerja baik dan positif serta meraih keberhasilan pertumbuhan anggota, tidak saja peningkatan ekonomi dan keuangannya saja.
Sebagaimana hal itu dicapai oleh Koperasi Karyawan Semen Gresik, di Jawa Timur yang mana pada tahun 2023 memiliki total anggota sejumlah 3.883 orang, karyawan 512 orang, dan 66 kantor cabang. Ada lagi, KPSBU (Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara) Lembang, Jawa Barat yang berdiri sejak 1979, memiliki 7.500 peternak anggota dengan populasi sapi perah sekitar 21.000 ekor. Setiap hari, koperasi ini memproduksi lebih dari 100 ton susu serta bisa diharapkan untuk mensukseskan program makan bergizi gratis (MBG) pemerintah.
Bukti lain, yaitu infrastruktur gedung monumental keberhasilan koperasi sektor produksi atau non simpan pinjam lainnya adalah berdiri tegaknya gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) nan megah bersebelahan dengan gedung perkantoran PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) di bilangan Semanggi, Jakarta Pusat. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menjadikan koperasi produksi melalui berbagai sentra industrinya sebagai entitas utama dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa. GKBI berkinerja positif malah tanpa bantuan pembiayaan dari pihak ketiga melalui pendanaan dana bergulir yang menerapkan suku bunga (interest rate) tertentu.
Disamping itu, berbagai catatan kinerja penting telah ditorehkan dalam pembangunan ekonomi bangsa dan negara di bawah kepemimpinannya melalui kontribusi sektor pertanian ditopang oleh entitas ekonomi Koperasi Unit Desa (KUD) serta minyak bumi dan dan (migas) oleh BUMN Pertamina dan PLN.
Sangat tepat dan layaklah, model sinergitas koperasi dan BUMN ini kembali diterapkan serta dikembangkan dalam masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Tidaklah dilakukan dengan cara menggelontorkan dana melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berjumlah Rp10 triliun pada tahun 2025. Kebijakan ini jelas klasik serta sesat pikir atas berbagai permasalahan dan kendala yang banyak dihadapi oleh koperasi selama 25 tahun terakhir.
Miskonsepsi Alokasi APBN ke LPDB
Pengucuran alokasi dana oleh Kementerian Koperasi (Kemenkop) untuk melakukan penguatan terhadap koperasi melalui aksi korporasi, yaitu merger atau akuisisi adalah sesat pikir dan salah kaprah paradigmatik atas prinsip perkoperasian. Apalagi hal itu dijalankan dengan menggunakan dana yang bersumber dari APBN senilai Rp10 triliun berpotensi disimpangkan dan atau menjadi lahan korupsi sebagaimana halnya yang terjadi pada masa awal kabinet reformasi diera pemerintahan Presiden almarhum BJ Habibie. Kebijakan Menkop Budi Arie Setiadi untuk mengalokasikannya pada Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) jelas tidak tepat dan akan gagal!
Lebih tidak tepat lagi dan miskonsepsi dan ahistoris akut dengan menyamakan aksi korporasi di lingkup koperasi seperti akuisisi dan merger meniru yang terjadi di banyak negara (tidak disebutkan negara dan benuanya) dalam mengkapitalisasi harta kekayaan (aset).
Anehnya, Menkop dan Wamenkop merujuk pada kasus dan permasalahan beberapa koperasi yang menurutnya sudah tidak aktif lagi dari total 131.000 unit di Tanah Air. Padahal, berdasarkan data dari Kemekop UKM sebelumnya justru terjadi peningkatan jumlah koperasi yang terdaftar pada tahun 2024. Bukankah menggelontorkan dana APBN membuat pembangunan koperasi menjadi tidak terarah (misleading) dan malah memperberat bebannya!
Selain itu, potensi penyimpangan dan kegagalan pendekatan korporasi dapat dicermati dari penyebarluasan berita (ekspose) atas unjuk kinerja yang buruk atau negatif Jangan sampai, praktek koperasi papan nama atau hanya menggunakan "nama koperasi" yang banyak terjadi diera orde reformasi justru menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah anggotanya.
Setidaknya, terdapat dua (2) kasus terbesar pengelolaan entitas ekonomi yang menggunakan nama koperasi, yaitu pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya dan KSP Sejahtera Bersama (KSP SB), yang mengalami kerugian masing-masing mencapai Rp15 triliun dan Rp8,8 triliun. Maka, penyelesaian atas permasalahan ini bukanlah dengan cara menggelontorkan alokasi dana ke LPDB yang cenderung "cepat saji" (instant) apalagi menerapkan tingkat suku bunga tertentu.
Kerugian tersebut terjadi justru oleh pendekatan korporasi melalui gelontoran dana besar sebagaimana halnya korporasi dan bukan partisipasi aktif berbasis keanggotaan.
Lalu, bagaimana halnya dengan kontribusi kinerja LPDB selama ini terhadap koperasi bermasalah atas penerapan model pinjaman perbankan? Model seperti ini hanya menjadi "bom waktu" dan semakin memperburuk citra koperasi karena tidak paradigmatik dalam penerapan prinsip perkoperasian. Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus berhati-hati dalam menyediakan kebijakan fasilitas alokasi pembiayaan dari APBN melalui LPDB yang beroperasi mirip perbankan.
Yang dibutuhkan bagi pembangunan dan pengembangan koperasi adalah perlakuan kesetaraan akses dengan korporasi. Alokasi dana APBN secara sektoral inilah yang akan produktif mendukung visi-misi Asta Cita ke-3 khususnya bagi pengembangan agro-maritim industri di sentra produksi melalui peningkatan kapasitas organisasi dan manajemen serta jangkauan jaringan kerjasamanya.
Tentu saja, kebijakan pemberian hak istimewa (privilege) kepada koperasi yang beroperasi di sektor agro-maritim akan mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih dari 8%. Sekaligus, pemerataan hasil-hasilnya dari hulu ke hilir untuk mendukung sasaran swasembada pangan (melalui keragaman konsumsi pangan) akan dapat dicapai.
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi/Pengembang Koperasi dan Konsultan Manajemen DeCori Consulting And Partners
© Copyright 2025, All Rights Reserved