SITUASI keuangan pemerintah saat ini memang sangat berat. Keadaan ini akibat menumpuknya utang terutama di era darurat Covid-19. Tumpukan utang ini adalah akumulasi dari utang-utang sebelum Covid-19 yang juga sudah sangat besar. Maka semua kebijakan keuangan dilakukan sepenuhnya untuk menjawab darurat keuangan negara.
Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi darurat keuangan?
1. Memberlakukan tax amnesty namun gagal.
2. Memberlakukan UU Darurat Keuangan yakni UU Nomor 2 tahun 2020, namun justru menghasilkan kekacauan keuangan.
3. Menjual obligasi negara kepada BI di Pasar perdana, justru menghasilkan utang jangka pendek yang menggunung.
BI sendiri telah memberi warning kepada pemerintah atau menagih. Utang jatuh tempo SRBI alias Sekuritas Rupiah Bank Indonesia mencapai Rp922,4 triliun selama 2025. Apabila tidak dikelola dengan baik oleh Bank Indonesia, dikhawatirkan besaran utang jatuh tempo tersebut akan berdampak negatif ke cadangan devisa.
BI harus segera mempersiapkan debt collector untuk menagih kementerian keuangan. Kalau tidak ini akan sulit bisa dibayar. Bahayanya ini akan meruntuhkan kepercayaan internasional kepada BI, atau lebih jauh BI akan ditaruh di bawah kementerian keuangan kembali?
Jalan lain bagi BI adalah berlomba dengan pemerintah menaik-naikkan suku bunga. BI menaikkan bunga SRBI-nya, pemerintah menaikkan bunga SBN atau SUN-nya. Ini agar orang orang mau membeli surat berharga BI dan pemerintah tersebut. Ini adalah persaingan yang gawat.
Wah bagaimana bank-bank juga akan berlomba-lomba menempatkan uang mereka kepada kedua pihak tersebut. Ini jelas kacau belau, rakyat makin kering, pinjaman online bunga mencekik akan makin marak, perceraian marak, bunuh diri pun marak karena terlilit utang.
Pemerintahan pun sama. Walaupun sampai nangis bombay, sampai terguling-guling, Menteri Keuangan tidak akan sanggup membayar utang dan bunga utang 2025. Bunga utang Rp552 triliun dan utang jatuh Covid-19 tempo tadi.
Memang waktu dapat duitnya Menteri Keuangan saat itu tertawa lebar. Bayangkan dengan UU darurat covid dia bisa leluasa mendapatkan uang dan leluasa berutang. Ini adalah kekuasaan yang sangat besar yang diberikan DPR saat itu.
Saya pribadi mengirimkan surat resmi kepada kementerian keuangan pada Juni 2020 untuk meminta Menkeu menjelaskan untuk apa saja uang Covid-19 itu digunakan.
Bayangkan saja utang di masa Covid-19 itu (2020-2022) luar biasa besar. Pada 2020 Menkeu ambil utang Rp1.193 triliun, pada 2021 Menkeu ambil utang Rp871 triliun, kemudian 2022 Menkeu ambil utang lagi Rp591 triliun.
UU darurat memperbolehkan pemerintah ambil utang di atas 3% dari GDP. Namun yang lebih mantap lagi adalah Menkeu boleh menggunakan uang itu sesuka sukanya Menkeu, diberikan ke bank, ke swasta dan ke BUMN. Namun sekali lagi tidak ada pertanggung jawaban yang jelas sampai hari, bagaimana uang itu digunakan, dan siapa saja penerimanya?
Jadi bagaimana nasib APBN kalau harus berhenti, atau shutdown pada 2025 ini? Indonesia memang tidak mengenal sistem government shutdown, tapi Indonesia bisa menghadapi keadaan kere keriting dan bangkrut. Legitimasi pemerintahan ini dipertaruhkan.
Di bagian lain pemerintah diprovokasi melakukan pelanggaran UU, seperti UU harmonisasi peraturan perpajakan, UU APBN, dan UU lainnya. Pemerintah terus menabung pelanggaran UU dan kesalahan. Lawan terus provokasi agar pelanggaran makin banyak.
Lalu apa rencana mereka nantinya kalau pelanggaran menumpuk? Waspada waspada waspadalah!
*Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
© Copyright 2025, All Rights Reserved