Pemerintah Singapura belum menyepakati definisi korupsi versi Indonesia, yaitu korupsi mengandung unsur melawan negara, membawa keuntungan pribadi atau orang lain, dan ada unsur kerugian negara. Singapura hanya mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan menyuap ({bribery}). Perbedaan definisi ini membuat pembahasan ekstradisi koruptor belum menemukan titik temu.
Hal ini disampaikan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) Hendarman Supandji dalam acara jumpa pers seusai penandatanganan nota kesepahaman Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mencegah pidana pencucian uang ({money laundering}) di Kantor BPK, Senin (25/9). Hadir dalam jumpa pers itu Ketua BPK Anwar Nasution, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, dan Hendarman Supandji.
"Rumusan mereka tentang korupsi hanya berupa {bribery} atau penyuapan. Di Indonesia, mengenal korupsi adalah perbuatan melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Jadi, Singapura menganggap bahwa definisi korupsi kita adalah kesalahan negara kita sehingga praktik korupsi menjadi seperti itu," kata Hendarman.
Sementara itu, Ketua PPATK Yunus Husein mengatakan, Singapura selaku {financial center} sangat penting sehingga orang Indonesia banyak yang berkunjung ke negara itu. Akibatnya, untuk upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang, kerja sama dengan Singapura sangatlah penting.
"Sekarang Singapura sudah banyak kemajuan. Kalau dulu kita tanya properti dan aset dia mau jawab, tetapi saat ditanya soal {financial tracing}, mereka tidak mau jawab. Namun, sekarang saya terkejut karena Singapura mulai mau membantu," katanya.
Singapura akan bertanya apakah itu kejahatan sebab kalau kejahatan, menjadi lebih mudah dicari. "Untuk soal ekstradisi, memang belum ada kesepakatan soal definisi korupsi, tetapi kalau pakai {money laundering}, itu lebih kompatibel," ujarnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved