Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 mencapai 6,3 persen. Persentase pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan perkiraan realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2006 yang hanya mencapai 5,8 persen (dari target seharusnya 6,2 persen). Optimisme pemerintah itu didasarkan pada dua hal. Pertama, yaitu perkiraan meningkatnya investasi dalam dan luar negeri hingga mencapai rata-rata 10 persen. Kedua, meningkatnya pula ekspor non minyak dan gas (migas) yang diperkirakan akan mencapai rata-rata 10 persen.
Meski demikian, pemerintah masih harus menghadapi tantangan masalah kemiskinan dan kecilnya peluang kerja di Indonesia. Hingga akhir tahun 2006 ini, jumlah penduduk miskin diperkirakan masih mencapai 16 persen dari jumlah penduduk sekitar 215 juta. Sementara, lapangan kerja yang bisa diserap hanya mencapai 250.000 orang per satu persen pertumbuhan ekonomi. Adapun harga minyak mentah masih dikisaran harga rata-rata 64 dollar AS per barrel.
Demikian data Departemen Keuangan mengenai perekonomian Indonesia, yang menjadi landasan dalam penyusunan Nota Keuangan dan Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2007, yang bakal disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (16/8) pagi ini dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Paripurna DPR, Senayan, Jakarta. Data ini diperoleh Kompas, Rabu (15/8) malam di Departemen Keuangan.
Sejauh ini, hasil kesepakatan Panitia Kerja (Panja) dari Panitia Anggaran DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pertumbuhan ekonomi ditetapkan pada kisaran 6,0-6,5 persen.
Adapun asumsi makro 2007 lainnya yang bakal ditetapkan pemerintah adalah meliputi harga minyak mentah Indonesia yang ditetapkan 65 dollar AS per barrel dan lifting minyak 1 juta barrel per hari. Sedangkan inflasi ditetapkan 6,5 persen dari kisaran yang ditetapkan Panitia Anggaran DPR dan pemerintah 6,0-8,0 persen. Nilai tukar rupiah ditetapkan Rp 9.300 per dollar AS, dari kesepakatan sebesar Rp 9.000-9.500 per dollar AS. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka 3 bulan, ditetapkan 8,5 persen, dari kesepakatan di kisaran 8,5-9,5 persen.
Sementara, mengenai defisit RAPBN 2007, pemerintah menetapkan nominal sebesar Rp 33,1 triliun atau 0,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun pendapatan negara tahun depan ditetapkan sebesar Rp 713,4 triliun atau naik 14,1 persen dari Perubahan APBN 2006. Sedangkan belanja negara ditetapkan mencapai Rp 746,5 triliun atau naik 21,1 persen dari Perubahan APBN 2006.
"Defisit RAPBN 2007 yang sebesar 0,9 persen dari PDB, lebih rendah 0,3 persen dari defisit di Perubahan APBN 2006 yang diperkirakan mencapai 1,2 persen dari PDB," tulis dokumen tersebut.
Untuk membiayai defisit anggaran tahun depan, pemerintah menetapkan pembiayaan dalam negeri berupa antara lain penjualan aset, privatisasi dan penerbitan surat utang negara (SUN) mencapai Rp 51,3 triliun. Sedangkan pembiayaan luar negeri yang berupa pinjaman program dan pinjaman proyek mencapai minus Rp 18,2 triliun.
Pada tahun depan, tambah dokumen itu lagi, pelonjakan volume RAPBN 2007 disebabkan karena belanja pemerintah pusat mencapai angka Rp 496,0 triliun atau 14 persen dari total volume RAPBN 2007. Sedangkan belanja daerah juga meningkat mencapai Rp 250,5 triliun atau sebesar 7,1 persen dari volume RAPBN 2007. "Belanja daerah tahun 2007 ini naik 13,8 persen dari yang ditetapkan di Perubahan APBN 2006 lalu," tambah dokumen tersebut.
Peningkatan pendapatan negara di antaranya didorong dengan peningkatan penerimaan negara yang berasal dari pajak sebesar Rp 505,9 triliun atau naik 21,5 persen dari penerimana pajak tahun sebelumnya. Juga kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 204,9 triliun. Lalu, penerimaan sumber daya alam (SDA) migas sebesar Rp 145,9 triliun dan SDA non migas sebesar Rp 5,7 triliun.
"Adapun penerimaan dari laba BUMN tahun depan justru turun 30,6 persen dari target di APBN 2006, sehingga targetnya tahun 2007 hanya sebesar Rp 16,2 triliun. Penurunan penerimaan laba BUMN ini di antaranya berasal dari penurunan dividen interim PT Pertamina yang sebelumnya Rp 12,3 triliun, tahun 2007 ini hanya Rp 8,3 triliun. Sementara, dividen bank-bank BUMN juga diperkirakan turun akibat meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL)," tambah dokumen tersebut.
Lebih rinci disebutkan bahwa kenaikan belanja pusat antara lain disebabkan karena meningkatnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 9,5 triliun, dari sebelumnya tahun ini Rp 59,1 triliun menjadi tahun 2007 Rp 68,6 triliun. Subisidi listrik juga sama saja mengalami peningkatan, dari tahun lalu Rp 22,1 triliun bertambah Rp 3,7 triliun menjadi Rp 25,8 triliun.
Belum lagi adanya penambahan program seperti subsidi selisih bunga untuk program biofuel sebesar Rp 1 triliun, penambahan dana bagi penanggulangan bencana, dari sebelumnya Rp 1 triliun ditingkatkan Rp 1 triliun lagi sehingga menjadi Rp 2 triliun. "Juga dana bagi pembangunan sistem peringatan dini tahun 2007 sebesar Rp 150 miliar, pembayaran bunga utang luar negeri yang turun dari Rp 59,9 triliun menjadi Rp 58,3 triliun akibat pengelolaan utang melalui penerbitan dan penukaran SUN.
© Copyright 2024, All Rights Reserved