Kini seharusnya tidak ada lagi yang merasa dibedakan atau didiskriminasi. Orang yang lahir di wilayah Indonesia adalah Warga Negara Indonesia asli. Dan semua warga negara memiliki hak dan kewajiban sama untuk mencintai dan mengabdi pada negara tanpa pamrih.
Itulah inti dari Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru saja disahkan oleh DPR RI beberapa waktu lalu. Keberadaan UU ini memang dinantikan sejak lama oleh sebagian besar warga negara Indonesia. Terutama mereka yang selama ini disebut sebagai warga keturunan.
Tak dapat dipungkiri, cerita-cerita tentang perlakuan diskriminatif yang diterima oleh WNI keturunan Tionghoa. Sikap diskriminatif ini bukan saja pada perlakuan sebagian masyarakat terhadap warga keturunan itu tetapi juga sikap mereka para warga keturunan Tionghoa dalam memperlakukan bangsa dan negara Indonesia.
Kesannya eksklusif, tertutup dan cenderung mengkotakkan diri dari pergaulan masyarakat luas kerap terjadi dalam pergaulan masyarakat keturunan Tionghoa. Karenanya kerap pula timbul anggapan dari masyarakat non Tionghoa yang mengganggap WNI Keturunan itu tidak nasionalis.
Penuturan dari seorang rekan saja mungkin dapat menjadi gambaran atas sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Suatu ketika, teman saya itu berkunjung ke Budapest. Di sana dia sempat berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan di kota itu. Singkat cerita, teman saya itu berencana membeli pakaian.
Pada toko yang ia kunjungi itu ternyata pemiliknya adalah seorang keturunan Tionghoa. Melihat logat Indonesia, sang pemilik toko kemudian mengajak ngobrol tentang Indonesia. Ternyata ia mengerti betul seluk beluk Jakarta, karena pernah lama berdagang di Pasar Glodok Jakarta, sekitar 10 tahun lalu.
Namun karena bisnis kurang beruntung, si pemilik toko kemudian mencoba peruntungan di Budapest. Sanak keluarganya yang ketika itu bersama-sama di Glodok sekarang ada di New York dan juga di Hongkong. Ketika teman saya itu bertanya apakah kewarganegaraan Indonesia telah berpindah status? Si pemilik toko tersebut tersenyum, dan berkata sebelum di Glodok ia berbisnis di Malaysia. Artinya tersirat dari, bahwa selama 10 tahun si pemilik toko tersebut entah datang dari mana telah masuk dan menjadi “warga negara Indonesia”.
Ada lagi contoh tentang keinginan warga keturunan Tionghoa ini untuk dapat disatukan dan merasa disamakan haknya dengan warga negara yang memang lahir, besar dan hidup di wilayah Indonesia. Seperti yang diberitakan Media Indonesia tanggal 21 Juli 2006 lalu. Kasus terjadi sehari setelah disyahkannya UU Kewarganegaraan oleh DPR RI. Kantor Imigrasi Jakarta Barat menangkap Imigran gelap asal Cina, Chen Leung alias Daniel Wongso, 30 tahun yang diduga memanfaatkan celah UU Kewarganegaraan ketika mengurus Paspor. Dalam KTP-nya domisili Jakarta Barat, kelahiran Medan dan sudah 26 tahun di Medan. Namun ketika diajak bincang-bincang oleh petugas Imigrasi malah tidak mengerti seluk beluk Kota Medan. Danau Toba sebagai salah satu primadona pariwisata nasional saja ia tidak tahu berada di daerah mana. Lebih “salut” lagi, penguasaan Bahasa Indonesia diibaratkan setara dengan siswa SMP yang sedang belajar mengeja Bahasa Inggris.
Mungkin banyak kasus tentang nasionalisme dan juga peluang melihat dan mencari celah tentang UU Kewarganegaraan yang baru ini. Guna mendukung rasa bangga terhadap jerih payah pemerintah dan DPR RI, seluruh warga negara juga perlu mengingkatkan serta sekaligus saling memberi ruang terhadap beberapa komponen bangsa Indonesia, khususnya warga keturunan Tionghoa ini tentang hakekat menjadi warga negara. Indonesia bukan hanya sekadar tempat peruntungan untuk mencari nafkah tetapi sebagai warga negara termasuk juga tanggung jawab untuk berwawasan kebangsaan, bersikap, menjaga dan mencintai negara.
UU Kewarganegaraan yang baru ini mudah-mudahan tidak mengulang cerita lama. Kisah orang yang lupa kacang dengan kulitnya. Setelah menjadi Taypan lupa dengan Indonesia dan bahkan pergi “menghilang” meninggalkan kredit macet. Oleh karenanya, sikap curiga sebagian masyarakat serpeti dalam pemberitaan SKH Rakyat Merdeka tanggal 25 Juli 2006, “Si Acong pun Bisa menggantikan SBY” perlu disimak secara arif oleh seluruh warga negara Indonesia dan tentunya oleh warga keturunan Tionghoa itu sendiri.
Perlakuan diskriminatif terhadap warga keturunan tertentu memang sudah layak kita tinggalkan dan begitu juga warga negara Indonesia keturunan selayaknya sudah mulai merakyat, membuka diri dan memang betul-betul sebagai rakyat Indonesia. Baik atau buruk Indonesia adalah negeri kita.
© Copyright 2024, All Rights Reserved