Zimbabwe tengah kesulitan untuk menggelar referendum dan pemilihan umum, yang dijadwalkan beberapa bulan mendatang. Pemilu ini akan menelan biaya US$85 juta, sementara APBN Zimbabwe sebesar US$4 miliar tidak mengalolasikan dana sebesar itu.
Menteri Keuangan Zimbabwe, Tendai Biti, di Pretoria, Afrika Selatan, Sabtu (09/03), mengatakan, pihaknya akan berusaha untuk menggelar refrendum dan Pemilu. “Sangat jelas Zimbabwe tak memiliki cukup uang untuk menggelar referendum dan pemilihan umum. Apalagi kedua peristiwa itu berlangsung berdekatan dan diikuti sensus nasional pada Agustus dan September," ujar Biti, yang juga sekretaris jenderal Gerakan untuk Perubahan Demokrasi (MDC).
Partai MDC yang dipimpin Morgan Tsvangirai, ikut memerintah negara bersama rival utamanya Robert Mugabe setelah pemilihan umum yang kacau dan penuh kekerasan pada 2008.
Pada referendum yang digelar 16 Maret nanti, rakyat Zimbabwe diminta untuk memutuskan konstitusi baru untuk membuka jalan digelarnya pemilu pada Juli, yang mungkin akan mengakhiri kekuasaan Mugabe selama 33 tahun.
“Kami harap komunitas internasional akan membantu kami. Kami juga tengah mencoba memaksimalkan sumber dari ekonomi domestik kami dengan menggunakan berbagai instrumen termasuk surat berharga, surat utang dan lain-lain," tambah Biti.
Namun, rencana untuk mencari dana pemilu dari donor internasional dan sektor swasta nampaknya akan sangat sulit. Negara-negara Barat terus mempertanyakan pelanggaran HAM yang terjadi di Zimbabwe.
Sementara para pebisnis khawatir perubahan arah politik yang terlalu cepat bisa mempengaruhi iklim usaha. Sebagai pemimpin bersama dalam pembagian kekuasaan yang rapuh di Zimbabwe, Mugabe dan Tsvangirai telah sepakat untuk menyetujui pembuatan konstitusi baru untuk memperkuat parlemen dan sedikit "melucuti" kekuasaan Presiden.
© Copyright 2024, All Rights Reserved