UU 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan menimbulkan gelombang penolakan, namun pemerintah telah mempraktekkan UU tersebut dengan menandatangani pemberlakuan UU tersebut.
Persoalan bermula dari Bab IV tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa: a. tarif PPN sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; b. sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Pada ayat (3) disebutkan tarif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Pada ayat (4) disebutkan perubahan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan PP setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.
Pemberlakuan kenaikan tarif PPN sebesar 11% tahun 2022 dari PPN sebesar 10% tahun 2021, atau PPN naik sebesar 1% berdampak sebagai berikut dengan menggunakan pendekatan prinsip berfikir perhitungan model ekonomi Computable General Equilibrium (CGE) berdasarkan perbandingan bersifat dinamis. Model ekonomi keseimbangan umum ini berbeda dibandingkan analisis model ekonomi secara parsial. Hasil prediksi CGE adalah sebagai berikut.
Penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah meningkat dari Rp551,9 triliun menjadi Rp687,6 triliun (naik sebesar 24,59%). Pendapatan dalam negeri naik dari Rp2.006,3 triliun menjadi Rp2.630,1 triliun (naik sebesar 31,09%). Pendapatan negara meningkat dari Rp2.011,3 menjadi Rp2.635,8 triliun (naik sebesar 31,05%).
Belanja pemerintah pusat naik dari Rp2.000,7 triliun menjadi Rp2.280 triliun (naik sebesar 13,96%). Subsidi energi dan subsidi non energi naik dari Rp242,1 triliun menjadi Rp252,8 trilliun (naik sebesar 4,46%). Bantuan sosial menurun dari Rp173,65 triliun menjadi Rp161,52 triliun (turun sebesar 6,99%).
Defisit anggaran menurun dari minus 5,82% terhadap PDB menjadi minus 4,85% terhadap PDB (turun sebesar 0,97%). Keseimbangan primer menurun dari minus Rp633,1 triliun menjadi minus Rp462,2 triliun (turun sebesar 26,99%).
Pertumbuhan ekonomi naik dari 3,7% menjadi 5,3% (naik sebesar 1,6%). Laju inflasi naik dari 1,9% menjadi 5,5% (naik sebesar 1,7%). Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah dari Rp14.312 menjadi Rp14.871 (melemah sebesar 3,9%).
Tingkat suku bunga SBN 10 tahun meningkat dari 6,4% menjadi 7,0% (naik sebesar 0,6%). Harga minyak mentah Indonesia naik dari 68 Dolar AS per barel menjadi 97 Dolar AS per barel (naik 42,65%). Lifting minyak mentah turun dari 660.000 barel per hari menjadi 612.000 barel per hari (turun sebesar 7,27%).
Lifting gas menurun dari 995.000 barel setara minyak per hari menjadi 954.000 barel setara minyak per hari (turun sebesar 4,12%).
Persentase penduduk miskin mengalami penurunan dari 9,71% per September 2021 menjadi 9,57% per September 2022 (turun sebesar 0,14%). Tingkat pengangguran turun dari 9,1% per Agustus 2021 menjadi 8,42% per Agustus 2022 (turun sebesar 0,68%).
Dengan menggunakan tanda arah, tren, dan besar koefisien atas, serta mekanisme transmisi dari dampak kenaikan PPN 1% periode tahun 2021-2022, maka prediksi CGE dampak kenaikan PPN 1%, yaitu dari PPN 11% tahun 2024 menjadi 2025 menjadi 12% secara agak kasar untuk dampak bersifat positif dinyatakan sebagai berikut. Penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah meningkat.
Pendapatan dalam negeri naik. Pendapatan negara meningkat. Belanja pemerintah pusat naik. Subsidi energi dan subsidi non energi naik. Defisit anggaran menurun. Keseimbangan primer menurun. Pertumbuhan ekonomi naik. Harga minyak mentah Indonesia naik. Persentase penduduk miskin mengalami penurunan. Tingkat pengangguran turun.
Artinya, kenaikan PPN 1% sehingga PPN naik menjadi 12% dari 11% adalah lebih banyak menguntungkan untuk penyehatan dan keberlanjutan fiskal pemerintah, supaya tidak terjadi risiko government shutdown berlanjut dalam bentuk peningkatan defisit primer dan ketergantungan kepada perolehan pembiayaan utang pemerintah sehubungan dengan peningkatan defisit anggaran, jika tanpa menaikkan PPN 1% berdasarkan amanat UU 7/2021 di atas.
Selain juga berguna untuk menurunkan pengangguran dan berperan untuk menurunkan kemiskinan menggunakan pendekatan stimulus fiskal. Akan tetapi tindakan pelanggaran amanat UU 7/2021 menimbulkan risiko impeachment di depan mata, kecuali jika Presiden berhasil melakukan amandemen UU 7/2021 menggunakan persetujuan dari DPR RI.
Akan tetapi pembatalan pemberlakuan UU 7/2021 berisiko berlanjut meningkatkan masalah defisit primer (government shutdown) dan menaikkan masalah defisit anggaran dengan menaikkan pembiayaan utang pemerintah. Inilah risiko dari pembangunan yang bergantung pada utang.
Implikasi penundaan UU 7/2021 juga akan membuat dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus, dana desa, dana insentif fiskal, dan dana keistimewaan D.I. Yogyakarta akan menurun dan terganggu.
Berbagai program prioritas pemerintah juga akan terganggu. Insentif menaikkan gaji guru dan dosen, ASN, dan pensiunan, maupun guru honorer, serta janji pada aparat desa juga semakin tidak mudah direalisasikan. Program makan siang bergizi juga akan terganggu.
Prediksi dampak yang bersifat negatif dan perlu diantisipasi dari peningkatan PPN 1%, menjadi 12% dari 11% adalah sebagai berikut. Bantuan sosial menurun, sehingga meningkatkan resistensi pada masyarakat yang mempunyai ketergantungan tinggi pada kegiatan bantuan sosial dari pemerintah.
Laju inflasi naik, sehingga masyarakat konsumen merasa dirugikan sekalipun masyarakat produsen merasa lebih diuntungkan. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah, sehingga barang konsumsi bersumber dari impor menjadi semakin terasa mahal, namun eksportir merasa diuntungkan.
Tingkat suku bunga SBN 10 tahun meningkat, sehingga pembiayaan utang pemerintah meningkat, debitur perusahaan swasta dan BUMN terasa semakin berat. Lifting minyak mentah turun, sehingga impor BBM meningkat dan harga BBM akan naik, yang semakin memberatkan konsumen BBM non subsidi, atau pemerintah menambah subsidi BBM.
Lifting gas menurun, sehingga industriawan terganggu oleh ketersediaan gas di dalam negeri, khususnya industri yang bergantung pada pasokan gas murah.
Oleh karena itu, keberhasilan kegiatan sosialisasi kenaikan PPN sangat menentukan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Berbagai opini yang bernada negatif perlu direspons secara lebih egaliter dan komunikatif.
Para vocal point perlu dilakukan dialog-dialog, sehingga optimisme restrukturisasi iklim perekonomian dapat lebih kondusif, ketika pemerintah mencari solusi atas isu keberlanjutan fiskal pasca Covid-19, banyaknya perusahaan PMA yang melakukan relokasi usaha ke luar negeri, penutupan perusahaan, outlet, dan banyak PHK.
*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2025, All Rights Reserved