Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum menemukan kata sepakat tentang bagaimana seharusnya Undang-Undang Peradilan Militer dituangkan. Akibatnya, pembahasan Rancangan Undanga-Undang ini terancam buntu.
Kemarin Rabu (31/5), Lobi Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto dengan Panitia Khusus DPR, belum juga mendapat titik temu.
Ada perbedaan pendapat tentang peradilan bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Pihak TNI bersikukuh menghendaki tindak pidana umum oleh prajurit tetap diadili di peradilan militer.
Sedangkan DPR berpendapat lain. Tindak pidana umum oleh prajurit harus diadili di peradilan umum sebagaimana diamanatkan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri; serta UU No 34/2004 tentang TNI.
Karena kedua pihak saling bersikukuh akhirnya rapat konsultasi yang berlangsung tertutup itu tidak menghasilkan kata sepakat. ”Pusing saya. Mereka itu masih saja mematok pada dirinya. Padahal kami ini sudah menawarkan adanya masa transisi,” ujar Effendy Choirie, salah seorang anggota pansus dari F-KB seusai rapat.
Sementara itu Ketua Pansus Andreas Pareira (F-PDIP) khawatir kebuntuan ini terjadi karena kurang lengkapnya informasi. Dari pertemuan itu, kata Andreas, ada kesan TNI masih memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap ekses-ekses dari pelimpahan peradilan umum. Usulan DPR pun dianggap melemahkan TNI.
Sementara itu, Panglima TNI yang ditemui seusai rapat justru optimistis bahwa suatu hari nanti akan tercapai titik temu. ”Titik temu pasti ada-lah. Kalau dibilang Deadlock, saya kira tidak. Hanya belum saja. Muaranya kan nanti sama,” ucap Djoko Suyanto.
Djoko menegaskan dalam rapat itu TNI hanya memberi berbagai pertimbangan, sedangkan yang memutuskan adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan serta Departemen Hukum dan HAM yang bersama DPR membahas RUU.
Menurut Panglima, sikap TNI tentang kewenangan peradilan militer memang belum berubah. Namun, hal ini jangan diartikan bahwa TNI ingin memiliki impunitas. ”Jangan sampai ada anggapan TNI punya impunitas dan pengadilannya harus sendiri. Hilangkan wacana itu,” ucapnya.
Menurut Djoko, TNI pun tetap berpegang pada Tap MPR VI/ MPR/2000, Tap MPR VII/MPR/ 2000, dan UU TNI No 34/2004. ”Sekarang sedang diformulasikan agar bisa mewadahi kepentingan, legislasi, kepentingan TNI dan Departemen Pertahanan serta Departemen Hukum dan HAM,” katanya.
Pembahasan RUU Peradilan Militer mulai dilakukan Maret lalu. Namun baru dua kali diadakan pembahasan langsung mengalami deadlock. Pasalnya, Departemen Pertahanan dan Pansus DPR bersikukuh pada pendirian masing-masing. Sebagai tindak lanjut lobi kemarin, pekan depan akan diadakan pembicaraan lanjutan dengan Departemen Pertahanan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved