Pemerintah Indonesia masih terus mengupayakan negoisasi dengan keluarga korban pembunuhan yang dilakukan tenaga kerja Indonesia (TKI) Satinah binti Jumadi Ahmad, di Arab Saudi. Negosiasi berjalan alot karena keluarga korban meminta uang pengganti (diyat) yang sangat besar, yakni sebesar 7,5 juta riyal atau sekitar Rp5 miliar.
Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, kepada pers, di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Senin (24/03) pagi. Djoko tengah menyertai kunjungan kerja Presiden SBY menuju Yogyakarta. “Pemerintah terus melakukan negoisasi agar hukuman Satinah dapat diringankan," ujar Djoko.
Satinah divonis hukuman mati oleh Pengadilan Buraidah, Arab Saudi, setelah terbukti melakukan pembunuhan dan perampokan terhadap majikannya, Nura Al Gharib. Peristiwanya terjadi pada 2007 lalu. Vonis mati untuk TKW asal Ungaran, Jawa Tengah, tersebut dijatuhkan pengadilan pada 2010.
Djoko menjelaskan, dari negosiasi yang dilakukan Kementerian Luar Negeri, hasilnya, pemerintah Arab Saudi memberikan maaf kepada Satinah. Namun, di sana berlaku ketentuan pemberian maaf dalam kasus pembunuhan harus datang dari keluarga korban. “Ini yang jadi kendala utama," ujar Djoko.
Soalnya, untuk memaafkan tindakan Satinah, keluarga korban menuntut uang diyat atau tebusan sebesar 7,5 juta riyal atau sekitar Rp25 miliar. Padahal, menurut Menko Polhukam, pada kasus sebelumnya diyat paling besar adalah 1,5 juta riyal.
“Dalam rapat-rapat dan pertemuan utusan-utusan kita dengan keluarga korban, dilakukan negoisasi apakah layak permintaan uang diyat sebesar itu. Secara tradisional permintan diyat itu biasanya setara 100-150 ekor unta. Harganya naik turun tapi kurang lebih Rp1,5 sampai Rp2 miliar," ujar Djoko.
Permintaan sebesar Rp25 miliar itu, tambah Djoko, berlebihan --meski nyawa tak bisa diukur dengan harga. "Itu berlebihan dan bisa menjadi komoditi yang tidak pas, tidak bagus ke depannya," imbuh dia.
Pemerintah sebenarnya telah membentuk tim advokasi dan tim pengacara untuk menangani kasus-kasus TKI di Arab Saudi. Contoh kasus yang berhasil ditangani tim tersebut adalah Satinem, yang berhasil dibebaskan dari hukuman mati.
Seluruh upaya dilakukan Pemerintah Indonesia dalam kasus seperti ini. Selain mengirimkan tim untuk bernegoisasi dengan pemerintaah Saudi dan keluarga korban, Presiden SBY juga mengirimkan surat kepada Raja Arab Saudi untuk minta keringanan terhadap penjatuhan hukuman mati.
“Penjelasan ini perlu karena seolah-olah pemerintah tidak peduli, TKI tidak bersalah. Sejak kasus mencuat sudah puluhan kali tim ke Arab Saudi," tandas Djoko.
Sebagaimana diberitakan, vonis mati untuk Satinah seharusnya dilakukan pada Agustus 2011. Tetapi berkat negosiasi Indonesia, tenggat waktu diperpanjang hingga 3 kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012, dan Juni 2013. Diyat yang semula diminta sebesar 10 juta riyal selanjutnya menjadi 7,5 juta riyal, yang harus dibayar dalam jangka waktu 1 tahun 2 bulan. Tanggal 3 April mendatang merupakan batas akhir vonis untuk dijalankan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved