Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hak pemberhentian ({recall}) adalah hak partai politik. Recall menjadi salah satu upaya untuk memberdayakan partai politik. adalah dengan memberikan hak atau kewenangan kepada partai politik untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap para anggotanya agar tidak menyimpang. Partai politik harus dilindungi dari perilaku pragmatis kader partai yang hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan atau batu loncatan untuk menjadi anggota badan legislatif.
Soal ketidakpuasan dan merasa hak-haknya dirugikan, anggota partai politik bisa mengajukan upaya hukum, tetapi bukan dengan cara mengajukan permohonan pengujian undang- undang ke Mahkamah Konstitusi.
Itulah sebagian putusan sidang Mahkamah Konstitusi yang dibacakan secara terbuka, Kamis (28/9), dalam perkara permohonan hak uji ({judicial review}) UU Partai Politik dan UU Susduk yang diajukan oleh anggota DPR Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman. Djoko Edhi mengajukan pengujian atas Pasal 85 Ayat 1 UU Susduk dan Pasal 12 b UU Partai Politik tentang pemberhentian anggota partai politik yang menjadi anggota DPR.
Dari sembilan hakim konstitusi, lima menolak permohonan yang diajukan Djoko Edhi. Kelima hakim konstitusi itu adalah Harjono, Achmad Roestandi, HAS Natabaya, I Dewa Gde Palguna, dan Soedarsono.
Beda pendapat
Empat hakim konstitusi lainnya, yaitu Mukti Fadjar, Maruarar Siahaan, Jimly Asshiddiqie, dan Laica Marzuki, menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).
Perbedaan pendapat yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie ini merupakan yang pertama kali terjadi. Kelima hakim konstitusi menyebutkan, jika anggota terpilih yang duduk di lembaga perwakilan rakyat menyimpang dari kebijaksanaan partai politik, adalah wajar dan proporsional apabila partai politik itu memberhentikannya dari keanggotaan partai yang kemudian diikuti pengusulan pengganti antarwaktu, seperti yang diatur dalam Pasal 85 Ayat 1 Huruf c dan penjelasan UU Susduk.
© Copyright 2024, All Rights Reserved