Revisi terhadap Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi program prioritas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada tahun ini. Revisi tersebut terutama terkait pasal 27 ayat (2) tentang pencemaran nama baik yang mendapat protes dari banyak pihak.
Hal tersebut dikemukakan oleh Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S. Dewa Broto kepada pers di Jakarta, Senin (14/01). “Revisi, terutama pada pasal 27 ayat 2 tentang pencemaran nama baik,” ujar dia.
Gatot mengakui, kementeriannya menerima begitu banyak masukan, kritik bahkan protes dari berbagai pihak terkait UU ITE tersebut. Protes itu datang dari berbagai kalangan termasuk media, terutama setelah mencuatnya kasus Prita Mulyasari yang dijerat dengan UU ITE untuk tuduhan pencemaran nama baik.
UU ITE mengatur ancaman pidana hingga 6 tahun untuk kasus pencemaran nama baik, sedangkan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) menyatakan ancaman pidana untuk kasus tersebut selama 9 bulan. Tingginya ancaman itu membuat seseorang yang dijerat pencematan nama baik bisa ditahan saat berstatus tersangka.
Berdasarkan protes dari berbagai kalangan itu, kata Gatot, Kemenkominfo akan menyesuaikan ancaman pidana untuk suatu pelanggaran yang diatur dalam UU ITE dengan perbuatan sejenis yang diatur dalam KUHP. Sebab, selama ini ancaman pidana dalam UU ITE jauh lebih tinggi daripada yang diatur dalam KUHP. “Pidana selama 6 tahun dengan denda Rp1 miliar juga dinilai sebagian kalangan terlalu berat,” ujar Gatot.
Selain itu, penyesuaian ketentuan pidana materiil dan acara pidana untuk kasus ITE dengan norma hukum pidana secara nasional lebih tepat guna dan mudah dalam penerapan. Revisi UU ITE, menurut dia, juga dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan teknologi informasi terkini dengan regulasi yang harus diatur oleh pemerintah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved