Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif berupa membekukan bantuan luar negeri United States Agency for International Development (USAID).
Alasan kebijakan Trump tersebut demi mengamankan ekonomi Amerika Serikat.
Melalui perintah eksekutif itu, Trump membekukan 90 hari bantuan pembangunan luar negeri AS. Itu termasuk penghentian sementara bantuan dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan USAID.
Trump mengambil kebijakan ini karena menginginkan efisiensi program dan konsistensi dengan kebijakan luar negeri.
"Setiap dolar yang dibelanjakan, setiap program yang didanai, dan setiap kebijakan yang dijalankan harus dibenarkan dengan jawaban atas tiga pertanyaan sederhana: Apakah itu membuat Amerika lebih aman? Apakah itu membuat Amerika lebih kuat? Apakah itu membuat Amerika lebih sejahtera?" kata Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Marco Rubio, dalam pernyataan resminya, Minggu (26/1/2025) lalu.
Selama ini, USAID menyalurkan berbagai bantuan dan asistensi yang berfokus pada pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan kesejahteraan sosial di berbagai negara terutama negara berkembang.
Lembaga sosial AS ini memberikan bantuan ke lebih dari 100 negara di berbagai benua di seluruh dunia, termasuk ke Asia Tenggara.
Dengan keputusan Trump ini maka ratusan hingga ribuan proyek USAID di berbagai negara terancam berhenti.
Ribuan staf kontrak yang bekerja di kantor-kantor USAID di berbagai negara bahkan dilaporkan telah diberhentikan langsung setelah Trump mengumumkan perintah eksekutif itu.
Khusus di Asia Tenggara bantuan pendanaan AS tersebut membantu menyediakan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat dan dukungan bagi aktivis pro-demokrasi yang mempertaruhkan nyawa melawan rezim represif.
Di Indonesia, USAID mengucurkan $153 juta atau sekitar Rp2,4 triliun untuk proyek-proyek di Indonesia selama 2023.
Proyek tersebut mencakup tata kelola pemerintahan yang demokratis, antikorupsi, iklim dan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Selama beberapa tahun terakhir, USAID mendukung peluncuran mesin yang bisa mengidentifikasi tuberkulosis dan bermitra dengan lembaga swadaya mansyarakat (LSM) untuk melatih orang-orang dalam kesiapsiagaan bencana.
Kemudian USAID selama ini juga membantu Myanmar. Namun saat ini Program HIV dari kementerian kesehatan (Kemenkes) yang dikendalikan junta sedang dikurangi. Program ini mengandalkan bantuan pendanaan AS.
"Tugas-tugas pemeriksaan darah sudah ditangguhkan," kata sumber di Myanmar.
Penghentian pendanaan juga berdampak ke aktivitas pro-demokrasi yang melawan junta. Salah satu aktivis mengatakan, dia mendapat perintah untuk berhenti menyediakan rumah aman dan tempat persembunyian bagi pendukung pro-demokrasi.
Tahanan politik menghadapi kondisi yang mengerikan di penjara termasuk penyiksaan.
"Kami meminta negara-negara demokrasi lain untuk turun tangan dan membantu mengisi kesenjangan tersebut," kata Aktivis itu, dikutip The Guardian, Kamis (30/1/2025) lalu.
Menurut Aktivis itu, USAID dan lembaga donor terkait AS lain harus berdiskusi dan berkoordinasi untuk memastikan kebutuhan ini ditangani di lapangan.
"Khususnya untuk bantuan medis dan program darurat seperti mendukung aktivis yang berisiko," kata aktivis itu.
Media independen Myanmar, yang berperan penting dalam mendokumentasikan kekejaman militer juga mengkhawatirkan. Media India Scroll melaporkan media Mizzima tak akan bisa membayar jurnalisnya, dan harus menangguhkan layanan siaran karena pembekuan.
Kemudian di Filipina, USAID merilis dana $180 juta termasuk untuk bantuan kemanusiaan dalam proyek-proyek di Filipina pada 2024.
Dana itu juga termasuk proyek-proyek di seluruh bidang seperti pemerintahan dan masyarakat sipil, pendidikan dan kesehatan.
Filipina merupakan sekutu tertua AS di Indo-Pasifik. Kedua ini, tampak lebih akrab dalam beberapa tahun terakhir.
Kajian bantuan luar negeri AS juga dilaporkan akan menghentikan pendanaan untuk program pembersihan ranjau di Vietnam, serta di Laos dan Kamboja.
Di seperlima wilayah Vietnam, bom Amerika masih tergeletak. Bom-bom itu telah menewaskan puluhan ribu orang sejak perang berakhir pada 1975.
Selain itu, USAID juga mendanai proyek-proyek yang bertujuan mendukung pembangunan ekonomi, keamanan lingkungan, dan kesehatan di seluruh Vietnam, dan menggelontorkan bantuan sebesar $146,46 juta ke negara tersebut pada 2024.
Di Kamboja, pendanaan USAID di Kamboja mendukung proyek-proyek yang mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, serta demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun kini, proyek-proyek itu dilaporkan telah ditangguhkan, termasuk pekerjaan yang mempromosikan jurnalisme warga.
Direktur eksekutif di Pusat Media Independen Kamboja (CCIM), Chhan Sokunthea, mengatakan, jika pendanaan dipangkas dalam jangka panjang akan berdampak besar ke jurnalis jika mereka menghadapi kekerasan.
Presiden kelompok hak asasi Kamboja Adhoc, Ny Sokha, juga menyampaikan dampang pemberhentian pendanaan itu.
"Ini sangat memengaruhi upaya kami untuk mendukung masyarakat yang rentan dan memperkuat demokrasi di Kamboja," kata dia.
Program penjinakan ranjau juga terganggu di Kamboja. Sekitar 30% penjinakan ranjau di negara tersebut didanai pemerintah Amerika dan semuanya telah terhenti.
Kemdian di Thailand, pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan, meminta pusat-pusat perawatan di sepanjang perbatasan Thailand kesehatan untuk ditutup.
Rubio juga mengatakan, bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa akan dikecualikan dari pembekuan tersebut.
Pusat-pusat perawatan Kesehatan di sepanjang perbatasan Thailand didanai Komite Penyelamatan Internasional dengan dukungan AS. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved