Banyak siswa pingsan atau menangis, ketika mengetahui dirinya tak lulus dalam ujian akhir nasional (UAN). Bahkan ada yang mencoba mengakhiri hidupnya (bunuh diri), karena saking frustasi dan kecewanya. Kekecewaan itu juga menghinggapi para orang tua murid, dan cemas akan masa depan anaknya. Bisa dipahami. Karena orangtua dari murid yang gagal di UAN tersebut sesungguhnya mengetahui persis tentang kemampuan anaknya, jika melongok prestasinya di berdasarkan raport yang diberikan tiap akhir semester selama tiga tahun.
Bahkan, ada murid yang menjuarai lomba fisika dan matematika internasional, tapi gagal di UAN, dan dinyatakan tidak lulus. Banyak pula yang telah diterima Perguruan Tinggi negeri, tapi akhirnya dibatalkan. Mereka kemudian mempertanyakan, mengapa prestasi yang diraih selama 3 tahun, lalu dikalahkan oleh UAN yang hanya 1 atau 1,5 jam. Dimana letak keadilan. Dimata para orangtua yang anaknya gagal, mereka mensinyalir ada yang tak beres pada sistem UAN, sehingga anak mereka yang selaiknya lulus, menjadi gagal hanya gara-gara satu mata pelajaran nilainya jatuh dari tiga mata pelajaan yang diujikan.
Yang pasti, masalah UAN ini telah memasuki wilayah hukum dan politik, bahkan bisnis. Para siswa yang gagal, termasuk orangtua yang kecewa, ramai-ramai melakukan class action, mendatangi kantor Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komnas HAM. Mereka meminta agar dapat membatalkan hasil UAN yang lalu, dan siswa yang gagal diberi kesempatan lagi.
Sementara Depdiknas sendiri merasa puas dengan hasil penyelenggaran UAN tahunn ini, karena tingkat kelulusan di seluruh Indonesia rata-rata lebih dari 90 persen. Sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah tak perlu menyelenggarakan ujian susulan, apa yang terjadi pada siswa yang gagal, bagi Wapres karena semata mereka kurang giat belajar. Dan standar UAN, tak perlu diubah, karena menurutnya, agar standar pendidikan menjadi lebih baik. Hal ini juga makin dipertegas pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa pemerintah tidak akan menurunkan standar mutu dan kualitas pendidikan nasional agar bangsa ini tidak tertinggal dengan negara lain.
"Kita tidak boleh menurunkan mutu dan tidak boleh berkompromi dengan kualitas," kata SBY. Menurut SBY, sudah menjadi keharusan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan cerdas. Syarat mutlak untuk menjadi bangsa yang maju dan cerdas adalah pendidikan yang baik.
Apa yang dikemukakan SBY maupun Kalla, benar. Semua setuju, bahwa standar pendidikan tak boleh diturunkan. Namun jika bicara tentang realita yang ada, dalam sistem pendidikan yang berlaku saat ini, masih menyimpan banyak persoalan. Lihatlah hasil temuan Indonesian Coruption Watch (ICW). Berdasarkan hasil testimoni ICW dengan guru penguji UAN di Garut, Jawa barat terungkap.
Di wilayah terkenal akan penghasil dodol itu, guru-guru itu mengakui bahwa tingkat kelulusan siswa SMU tahun ini lebih baik dibanding tahun sebelumnya, pasalnya UAN tahun ini jauh hari telah dikondisikan (direkayasa) agar tingkat kelulusan tinggi, demi mendongkrak nama baik Garut, karena tahun sebelumnya dimasukan sebagai salah satu wilayah terburuk dalam penyelenggaraan UAN. Adapun pihak yang mengkondisikan UAN, adalah Bupati, Kepala Dinas Pendidikan, dan Ulama (Karena di wilayah tersebut banyak terdapat madrasah). Luar biasa. Joke yang beredar di Garut, yang sibuk menghadapi UAN, justru ketiga pihak tadi.
Memang, soal-soal itu baru dibuka pada saat ujian diselenggarakan, dan yang mengawasi ujian adalah para guru dari sekolah yang berlainan. Namun antara guru di daerah sudah saling mengenal, bahkan sebagian satu alumni dari perguruan tinggi yang sama. Jadi, guru yang ada disekolah A dan mengawasi sekolah B, membantu siswa sekolah B dalam menyelesaikan soal. Begitu pula dengan guru sekolah B, membantu murid SMU di sekolah A.
Lalu dalam menempuh UAN, para siswa itu tak perlu buru-buru menyelesaikan UAN, karena di lain ruang, guru sibuk menyelesaikan soal-soal. Begitu selesai, jawaban segera diberikan kepada murid-murid yang tengah diawasi. Agar tak mencurigakan, murid dilarang memiliki jawaban sempurna. Dalam arti, dari sekian soal, harus ada beberapa yang salah. Jadi, kalau mendapat nilai 9, masih diperbolehkan, yang penting asal jangan mendapat nilai 10,00. Bisa dipastikan, upaya ini bukannya tanpa biaya. Hanya saja, untuk mencapai tujuan dan nama baik, bagi kepala daerah tertentu, agaknya nama baik jauh lebih penting, ketimbang bicara mutu. Setidaknya ini entry point bagi Pilkada berikutnya.
Di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) lain lagi. Rupanya dikalangan pendidik ada juga yang bermental pebisnis usai UAN dilaksanakan. Caranya, siswa yang ingin mengetahui lulus tidaknya, dapat mengirim pesan pendek (SMS) ke nomor tertentu dengan dikenakan biaya Rp 2.000 per SMS, sebagaimana laiknya program reality show tv, seperti AFI, Indonesia Idol, KDI, Pildacil, dan lainnya. Lewat kerjasama operator, jika siswa SLTP ada 1 juta saja yang mengirim sms, maka duit yang masuk sekitar Rp 2 miliar. Dan separonya, bisa dipastikan masuk ke kantUANg panitia. Hebat bukan.
Benang merah yang bisa ditarik, selalu saja ada kekurangan dan kelemahan dari sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Ujian Nasional hanyalah sebagian dari kelemahan sistem yang ada. Lebih dari itu, sistem pendidikan nasional sejak dulu hingga kini, memang tak pernah beres. Ganti meteri ganti aturan dan berganti standar. Tak pernah ada grand design pendidikan nasional yang dapat diimplementasikan untuk jangka panjang, dan menjadi standar yang tak dapat diragukan pada masanya kelak. Tapi memang, saat ini saja pendidikan belum menjadi prioritas nomor satu dalam upaya menciptakan sumber daya manusia berkualitas dan unggul. Terbukti anggaran pendidikan yang semula sudah ditetapkan, kemudian diubah lagi, dan dikorbankan untuk kepentingan lainnya.
Jadi, tak mengherankan ditengah keseriusan yang minim dalam hal pendidikan, di berbagai daerah (termasuk di Ibu Kota sekalipun), masih banyak persoalan lain yang tampak di depan mata; gaji guru yang minim, sekolah-sekolah banyak yang reot dan rubuh, anak yang tak bisa sekolah karena ketiadaan biaya, mahalnya buku termasuk perlengkapan sekolah, menjadikan penerimaan murid baru sebagai proyek, guru harus berkolusi dengan penerbit buku demi memperoleh penghasilan tambahan atau guru yang harus mengojek maupun memulung limbah, serta banyak lagi. Dan kesemua itu terus menghiasi wajah pendikan nasional kita, dari dulu hingga kini, dan mungkin juga esok?
© Copyright 2024, All Rights Reserved