Para perawat yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia atau PPNI mulai dapat tersenyum lega. Pemerintah berjanji akan segera menuntaskan RUU Keperawatan bersama DPR.
“Kita bahas dan tentu pemerintah mempunyai wakilnya yakni Ibu Menkes, di DPR juga ada. Kita cari yang terbaik dan Insya Allah nanti kita menyelesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama," ujar Boediono dalam pidato pembukaan Munas PPNI ke-8 di Kantor Wapres, Jakarta, kemarin.
Boediono mengaku, telah mendengar keinginan para perawat untuk segera memiliki payung hukum. Hal itu dimaksudkan agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara optimal. Selama ini, tambah Boediono, fasilitas yang dimiliki perawat di segala penjuru tanah air, berbeda. Demikian pula terkait standar mutu perawat di tiap daerah. Hal itu diakibatkan Indonesia belum mempunyai suatu sistem standarisasi dan kompetensi profesi, termasuk profesi perawat.
"Dalam suasana keragaman dari situasi, fasilitas dan standar mutu perawat ini, pemerintah akan melihat apa yang bisa dilakukan. Di daerah yang kurang fasilitasnya akan kita upayakan agar makin lama makin meningkat,” ujarnya.
Ditegaskan pula, pemerintah akan mendukung upaya dan inisiatif PPNI untuk meningkatkan standar mutu perawat. Sebab menurutnya, standar merupakan kunci dari kualitas akhir peran pemerintah kepada masyarakat.
Sebelumnya,Ketua Pengurus Pusat PPNI, Achir Yani S Hamid sempat terisak-isak ketika mengeluhkan terkatung-katungnya payung hukum bagi 500 ribu perawat di Indonesia itu. Keluhan yang disampaikan di hadapan Wapres dan Menkes, Endang Rahayu Sedyaningsih, di Istana Wapres itu bak gayung bersambut. Tanggapan positif pemerintah untuk segera menuntas RUU tersebut dapat menjadi bekal bagi PPNI yang akan menggelar Munas di di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 27-30 Mei nanti.
"Mewakili 500 ribu perawat sebagai anak bangsa, kami meminta tidak lebih dari apa yang diperlukan oleh suatu profesi, yaitu dukungan bagi profesi keperawatan untuk dapat berkontribusi pada pembangunan kesehatan bangsa," ujar Yani dengan kalimat terbata-bata.
Yani menambahkan, lahirnya UU tentang perawat dirasa penting untuk memperjelas ruang lingkup profesi keperawatan, jenjang karir, serta untuk membedakan antara perawat dengan tenaga kesehatan lainnya.
Selain itu, para perawat memerlukan perbaikan kondisi kerja yang mengedepankan profesionalitas melalui jenjang karir yang jelas. Profesionalitas perawat itu dalam arti penghargaan terhadap kinerja yang transparan dan adil.
"Perhatian kesejahteraan terhadap perawat perlu segera ditingkatkan, juga perlindungan bagi perawat yang terpapar risiko kerja baik yang bersifat natural bagi perawat dalam pekerjaannya maupun kondisi lingkungan kerja," tutup Yani.
Yani, yang mengenakan jilbab merah marun itu meminta agar pemerintah mendukung selesainya RUU Keperawatan menjadi UU pada 2010. Mengingat RUU itu telah muncul lebih dari 20 tahun lalu.
Pemerintah sendiri baru mengusulkan draf RUU tersebut kepada DPR pada 2005. UU tersebut mendapat nomor urut 160 untuk dibahas dan diselesaikan oleh anggota dewan di Senayan periode 2004-2009.
Namun hingga 2007, menurut Yani, tidak ada kemajuan. PPNI mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai upaya. Sayang, keterbatasan waktu pengabdian anggota DPR 2004-2009 membuat RUU tersebut tidak bisa diselesaikan. Kini, RUU itu telah masuk kembali dalam Prolegnas dan akan dibahas DPR periode 2009-2014.
Kasus Misran
Tertundanya pembahasan RUU Keperawatan telah memakan korban seorang mantri kesehatan di Desa Semayang, Kecamatan Kenohan, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur bernama Misran. Ia dipidana setelah menolong pasiennya dengan memberikan obat.
Menanggapi hal itu, Menkes mengatakan, dispensing obat ----kewenangan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian untuk memberikan obat---- dapat dilakukan tenaga kesehatan lainnya bilamana di tempat itu tidak ada tenaga farmasi.
Menkes memang tidak secara tegas membenarkan perbuatan Misran. Namun, tenaga-tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman kadang-kadang harus bertindak cepat untuk keselamatan nyawa pasien mereka.
"Mereka para perawat, dokter, yang ada diujung-ujung itu kadang-kadang harus melakukan itu, karena pasien datang untuk minta tolong. Jadi kalau itu sifatnya untuk menolong dan tidak ada tenaga lain tentu saja harusnya itu diperbolehkan," katanya.
Menurut dia, ketentuan mengenai fleksibilitas tenaga kesehatan yang bisa memberi obat itu termaktub dalam pasal 168 UU No 36/2009 Tentang Kesehatan. UU itu diterbitkan untuk melindungi masyarakat, bukan untuk mempersulit suatu profesi di dunia kesehatan. Ironisnya, UU itu pulalah yang dipakai untuk menjerat Misran.
Yang tidak diperbolehkan menurut Menkes, adalah apabila obat itu diberikan oleh pihak yang tidak bekompeten. Padahal di daerah tersebut ada yang lebih berkompeten. “Nah, itu yang tidak boleh. Kita takutnya kalau misalnya orang itu diperbolehkan praktik tapi tidak punya kompetensi," ujar Endang.
Endang mengakui, Misran tengah melakukan uji materi UU Kesehatan itu ke Mahkamah Konstitusi. Kementerian Kesehatan juga diminta untuk hadir di dalam persidangan sebagai saksi ahli.
© Copyright 2024, All Rights Reserved