Sejak Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2014, yang ditandai dengan adanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, anggaran BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Hingga akhir tahun 2017, defisit telah mencapai Rp15 triliun.
“Hasil monitoring dan evaluasi yang kami lakukan, hasilnya menunjukkan terus mengalami defisit. Untuk sementara masih bisa ditanggulangi. Namun, kalau untuk jangka panjang, defisit itu akan menggerogoti kepercayaan publik terhadap JKN yang kinerjanya kami terus awasi,” terang Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo kepada politikindonesia.com disela-sela acara Kaleidoskop Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tahun 2017 di Jakarta, Kamis (28/12).
Menurutnya, apabila keadaan ini terus terjadi maka amanat UUD 1945 tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Sehingga kondisi ini memerlukan perhatian yang serius dan perlu adanya intervensi kebijakan yang komprehensif. Selain itu, juga diperlukan langkah strategis yang dapat mencegah berkembangnya ketidak kepercayaan publik untuk menjamin kesinambungan JKN.
“Seharusnya, akhir tahun ini menjadi waktu yang tepat untuk mereview kembali perjalanan penyelenggaraan jaminan sosial selama satu tahun ini. Hal itu dilakukan guna mempelajari kekurangan dan memperbaikinya di masa datang. Jadi, kami harus merefleksikan kembali apa yang sudah kami kerjakan dan apa saja yang belum selesai dikerjakan di tahun ini,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan selama ini karena penetapan iuran yang terjadi saat ini lebih banyak berbasis pada persepsi kemampuan negara dan penduduk. Akibatnya, selama 4 tahun JKN, terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan (pendapatan iuran) dan pengeluaran (pembayaran manfaat). Belum lagi keteraturan dalam cash flow.
“Harusnya dibayar, tapi pembayaran di pihak pelayanan kesehatan juga mundur. Walaupun ada mekanisme denda, namun tetap mempengaruhi sistem pelayanan kesehatan yang ada. Sehingga program JKN dengan mekanisme asuransi sosial selama ini belum terpenuhi secara utuh. Prinsip dasar itu adalah kecukupan dana bersama (adequacy),” ulasnya.
Dipaparkan, pemerintah seharusnya mulai menghitung harga keekonomian setiap tahun dari masing-masing grup dasar kasus (CBG) dan kapitasi dikalikan dengan jumlah klaim. Karena menurut pengalaman tahun sebelumnya, data itu menjadi acuan untuk perhitungan iuran dan membaginya dengan jumlah peserta aktif. Sehingga nantinya bisa ditetapkan besaran iuran dalam Peraturan Presiden.
“Karena tugas dan fungsi kami untuk meningkatkan jaminan sosial nasional, tentunya dengan kerja BPJS kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS ini jadi sentral sistem JKN. Sehingga kami harus merumuskan semua permasalahan, terutama konteks yang ingin dicapai, terutama soal pendanaan untuk pembiayaan jaminan sosial maupun kesehatan bagi masyarakat,” tandasnya.
Untuk menyiasati hal tersebut, lanjut Sigit, pihaknya mengusulkan 3 langkah strategis. Pertama, pemerintah bisa melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS Kesehatan. Tindakan khusus itu dapat dilakukan melalui pemberian suntikan dana tambahan, sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat (2) huruf b PP 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
“Adapun upaya lain yang dilakukan adalah pemberian dana talangan dari aset BPJS Kesehatan, sebagaimana diatur dalam pasal 39. Sehingga bisa menutupi defisit dan bisa menjadikan posisi keuangan lebih sehat sementara. Syaratnya, sistem harus tetap diperbaiki, kalau tidak segera diperbaiki maka defisit akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya," kata Sigit lagi.
Upaya kedua, tambahnya, agar pemberian suntikan dana tambahan dan pemberian dana talangan tidak dilakukan terus menerus. Oleh karena itu, upaya jangka menengah yang memungkinkan dapat mengendalikan defisit JKN dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun ke depan. Di antaranya, meninjau ulang pembayaran dana kapitasi kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di Puskesmas dan perbaikan sistem rujukan.
“Sedangkan tahap jangka panjang, bisa ditempuh dengan mengkaji ulang tingkat kelayakan dan waktu penerapan manfaat rawat inap. Hal itu mencakup perhitungan kemampuan iuran, kemampuan rumah sakit menyediakan fasilitas kepada peserta dan pemahaman peserta akan sistem jaminan sosial kesehatan,” tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved