APA itu subsidi dan mengapa harus ada kebijakannya? Kenapa subsidi menjadi domain pemerintahan, tapi disaat yang sama bahkan pemerintah melalui Presiden Republik Indonesia dan Menteri Keuangannya selalu mengeluh soal membengkaknya alokasi subsidi. Yang sering dikeluhkan khususnya subsidi energi, tidak saja terus meningkat jumlahnya tapi juga banyak penyimpangan setiap periode.
Bukankah ini sebuah keluhan yang aneh dan absurd? Lalu apa isu dan permasalahan sebenarnya, kenakalan Sumber Daya Manusia (SDM) ataukah payung hukum kebijakannya (peraturan dan perundang-undangan) berlaku?
Alokasi dan Kelompok Sasaran
Jika terkait soal yang berhak, maka asumsi jumlah penduduk miskin yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mestinya bisa menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan kelompok sasaran. Artinya, Rp502 triliun jumlah alokasi subsidi energi tahun 2022 yang dulu dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo dibagikan kepada kelompok sasaran Rumah Tangga (RT) masyarakat miskin (maskin) 25,90 juta orang maka per orang menerima sejumlah Rp19,38 juta. Atau pengeluaran/belanja subsidi energi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat sejumlah Rp1,6 juta/bulan.
Sebagai contoh, misalnya saja, kebutuhan LPG 3 kg subsidi suatu Rumah Tangga adalah 12 kg/bulan (dipengaruhi perilaku konsumsi), maka total pengeluaran untuk belanja LPG 3 kg (harga eceran Rp18.000-20.000) adalah Rp216.000-240.000. Jumlah pengeluaran konsumsi LPG3kg suatu RT maskin rata-rata selama setahun adalah Rp2,59-2,88 juta. Jika hitungan ini menjadi dasar, maka alokasi subsidi energi dari pemerintah untuk belanja LPG 3kg RT maskin saja tidak cukup. RT maskin masih harus menambahi dari kantongnya sendiri untuk menutupi belanjanya itu rata-rata sejumlah Rp990.000-1.280.000.
Lalu pertanyaannya, mengapa realisasi subsidi energi pada tahun 2021 yang hanya Rp131,5 triliun tidak ada persoalan apapun terkait penyalurannya? Padahal, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), subsidi energi terdiri atas alokasi untuk Bahan Bakar Minyak (jenis solar dan pertalite) dan LPG 3 kg hanya sejumlah Rp83,7 triliun dan subsidi listrik berjumlah Rp47,8 triliun. Sedangkan, pada tahun 2020, realisasi subsidi energi hanya sejumlah Rp95,7 triliun, terdiri dari BBM dan LPG 3kg sejumlah Rp47,7 triliun dan subsidi listrik Rp48 triliun. Padahal, jumlah penduduk miskin berdasar data BPS tahun 2020 dan 2021 justru masing-masing mencapai 27,55 juta dan 26,5 juta orang atau lebih tinggi dibanding angka tahun 2022.
Mengapa sebuah kebijakan alokasi subsidi energi untuk kelompok sasarannya yang sama jumlah realisasi anggarannya menjadi berbeda? Jika angka alokasi subsidi energi Rp502 triliun yang digunakan sebagai patokan, maka konsumsi rata-rata RT maskin untuk jenis BBM dan LPG 3 kg sebesar 27,850 kg/liter. Tentulah dengan alokasi anggaran lebih rendah dari Rp502 triliun maka rata-rata pengeluaran untuk belanja konsumsi energi RT maskin dari kantong mereka sendiri akan lebih besar. Namun, benarkah penyaluran BBM dan LPG 3 kg selama ini telah menyasar kepada kelompok sasaran RT maskin yang tepat?
Pemerintah selalu kelihatan kebingungan atau seolah-olah tak tahu mengatasi persoalan alokasi subsidi energi dan kelompok sasaran penerima manfaatnya. Apakah benar tanpa pijakan yang jelas dan tegas dalam menyelesaikan masalah membengkaknya realisasi dana alokasi subsidi, khususnya BBM jenis solar, pertalite dan LPG 3 kg? Sebab, subsidi energi inilah yang membuat beban keuangan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Dibandingkan dengan subsidi kepada kelompok petani, peternak, pekebun dan nelayan yang tak sampai separuh dari total subsidi yang dialokasikan pemerintah.
Bahkan, konsumsi BBM dan LPG ini telah mengakibatkan defisit migas atas kebijakan impor BBM dan LPG serta transaksi berjalan semakin besar. Yang mana, menurut data BPS nilai impor migas dan produk turunannya tahun 2019 awalnya hanya Rp312,96 triliun (kurs USD1= Rp14.300). Maka, pada tahun 2024 telah melesat mencapai lebih dari USD40.416,4 juta atau setara Rp636,558 triliun (kurs USD1=Rp15.750). Akankah hal ini terus dibiarkan terjadi dan menguntungkan sekelompok kecil orang atau pengusaha?
Implementasi dan Penyimpangan
Polemik selanjutnya muncul atas mekanisme penyaluran alokasi subsidi BBM solar, pertalite elpiji 3 kg tersebut, yaitu antara mekanisme terbuka yang diperjualbelikan secara bebas atau mekanisme tertutup tapi belum diwadahi oleh kelengkapan peraturan yang memadai, baik dalam Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri teknis lainnya, terutama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ombudsman RI juga menilai kemendesakan (urgency) adanya revisi Peraturan Presiden RI Nomor 117 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 (Perpres 191/2014) tentang Pendistribusian dan Juga Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pada Pasal 21B ayat 2 Perpres itu disebutkan bahwa formula harga dasar, harga indeks pasar, dan harga jual eceran bahan bakar minyak jenis bensin (gasoline) RON 88 sebagai komponen bahan bakar minyak pembentuk jenis bensin (gasoline) RON 90 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai jenis BBM Khusus Penugasan. Perpres ini ternyata masih mengizinkan Pertamina menjual BBM RON 88 meskipun faktanya yang tersedia BBM RON 90 pertalite. Bagaimana mungkin implementasi dan penyimpangan kebijakan alokasi subsidi BBM dan LPG 3 kg tidak akan terjadi jika materi dalam Perpres seperti ini?
Seharusnya pemerintah mampu belajar (lesson learned) dan melakukan evaluasi secara menyeluruh atas pelaksanaan penyaluran subsidi elpiji 3 kg selama bertahun-tahun yang lalu. Sebelum menyalahkan beban subsidi yang dianggap memberatkan APBN dan keuangan negara, seolah-olah menyalahkan kelompok sasaran yang sebenarnya itu terjadi akibat kesalahan pengelolaan kebijakan pemerintah sendiri. Permasalahannya, tidak hanya terletak pada pengertian dari subsidi saja tapi juga implementasi dan pengawasan penyaluran alokasinya kepada kelompok masyarakat yang tidak hanya berhak tetapi juga layak menerima subsidi tersebut.
Hal mana juga terjadi pada ketentuan dalam Perpres nomor 104 tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga liquefied petroleum gas (LPG) 3 kg. Selain ketentuan pembatasan mengenai kelompok yang berhak dan juga layak menerima subsidi BBM (solar dan pertalite) dan LPG 3 kg belum diatur secara tegas dan jelas. Tidaklah heran, misalnya kasus selebritis Prilly Latuconsina yang mengkonsumsi LPG 3 kg bersubsidi pada bulan April 2024 terjadi di berbagai lokasi. Apalagi, disparitas harga LPG 3 kg bersubsidi pada penjualan akhir harganya dikisaran Rp20.000-25.000 per tabung dibanding non subsidi (tabung 5,5-12 kg) yang dijual Rp90.000-195.000 tentulah penyimpangan akan terus terjadi
Sebab, ketiadaan klausul peraturan dan ketentuan yang secara material-formil melarang serta membatasi konsumen masyarakat untuk membeli LPG 3 kg. Begitu juga halnya dengan konsumsi BBM jenis solar dan pertalite yang tidak ada kejelasan dan ketegasan kelompok masyarakat atau RT sasaran yang berhak dan layak menerimanya (kaya atau miskin). Apabila, saat pengisian BBM di berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), maka sangat mungkin terjadi penyimpangan transaksi, baik itu oleh jenis (Alphard, Lexus, Fortuner dll) dan tahun kendaraan maupun status sosial kelompok masyarakatnya.
Oleh karena itu, implementasi dan penyimpangan kebijakan BBM dan LPG 3kg yang tidak tepat sasaran sangat jelas bersumber dari peraturan dan ketentuan dari pemerintah sendiri. Materi inilah yang harus dijelaskan dan ditegaskan terkait kelompok masyarakat atau RT mana sajakah yang berhak dan layak menerima subsidi BBM dan LPG 3 kg? Barangkali pemerintah dapat "belajar" atas implementasi alokasi dan distribusi penerima subsidi listrik oleh BUMN PLN yang lebih baik pemetaan kategorisasi penerima manfaatnya.
Jika materi Perpres 191/2014 dan Perpres 104/2007 serta berbagai Permen ESDM pendukungnya tidak direvisi terkait definisi subsidi, kelompok atau RT sasaran beserta jumlah/volumenya, maka penyimpangan alokasi akan terus terjadi dan semakin menjadi-jadi!
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi
© Copyright 2025, All Rights Reserved