Penasehat hukum mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono Suwondho menganggap ada sejumlah kejanggalan dalam kasus roll out Customer Information Service System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya yang menjerat kliennya sebagai terdakwa. Sejumlah kejanggalan tersebut disampaikannya dalam nota keberatan atau eksepsi.
Eksepsi tersebut disampaikan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa (23/08), dihadapan majelis hakim yang diketuai Tjokorda Ray Suamba. Penasehat hukum Eddie, Maqdir Ismail mengungkapkan, salah satu kejanggalan dalam kasus yang menjerat kliennya itu adalah, belum adanya kerugian negara ketika Eddie dijadikan tersangka dalam kasus tersebut.
Dalam eksepsinya, penasehat hukum mempertanyakan mengapa setelah setahun kliennya dijadikan tersangka, barulah kerugian negara dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Ini nyata-nyata melanggar azas legalitas,” ujar Maqdir. “Sama saja tangkap orang lebih dulu, kemudian jadikan tersangka, baru dihitung kerugian negara. Ini bisa jadi preseden.”
Maqdir juga mempersoalkan terlibatnya BPKP untuk menghitung kerugian negara dalam kasus ini. “Bahkan BPK sendiri tidak meminta BPKP untuk melakukan pemeriksaan dan penghitungan kerugian negara, itu kalau keuangan PLN dianggap sebagai keuangan negara,” tegasnya.
Penasehat hukum berpendapat, yang seharusnya dijadikan dasar untuk menentukan adanya kerugian negara adalah hasil audit BPK bukan audit BPKP. Sementara BPK dalam laporan keuangan dan konsolidasi PLN No.20.B/Auditama V/GA/05/2006 menegaskan bahwa BPK tidak pernah berpendapat adanya kerugian negara dalam pelaksanaan pekerjaan Roll Out CIS-RISI. BPK hanya berpendapat bahwa pelaksanaan pekerjaan tersebut belum optimal dan lebih bayar sebesar Rp530,96juta.
Kejanggalan lain, kata Maqdir, adalah adanya pemeriksaan terhadap sejumlah saksi yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang didakwakan. Selain itu, dalam surat dakwaan terhadap Eddie tersebut menunjukkan besarnya peran seorang pejabat PLN yakni Sunggu Anwar Aritonang yang ketika itu menjabat Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN tapi tidak tersentuh oleh hukum.
Sunggu Anwar Aritonang, sebut Maqdir, seperti tercatat dalam Busines Plan 2005-2007 PT Netway Utama selaku rekanan dalam proyek CIS-RISI, telah menerima uang sebesar Rp1 milyar. “Tapi Sunggu ini hanya menjadi saksi saja,” tegas Maqdir.
Karena itulah, Maqdir menilai ada “mark down” perkara atau manipulasi berupa pengurangan terdakwa dalam kasus ini. “Ini adalah bentuk tebang pilih yang dilakukan oleh penyidik KPK,” tandas Maqdir.
© Copyright 2024, All Rights Reserved