Selama sekitar 8 jam, Laksamana Sukardi menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era Presiden Megawati Soekarnoputri itu dicecar pertanyaan seputar penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk konglomerat Sjamsul Nursalim.
"Diminta keterangan masalah pemberian SKL BLBI. Jadi saya juga diminta melengkapi informasi-informasi masih dalam pendalaman, jadi masalah SKL-nya obligor Sjamsul Nursalim," terang Laksamana kepada pers di Kantor KPK, Jakarta, usai menjalani pemeriksaan, Rabu (10/12) sore.
Seperti diketahui, Sjamsul Nursalim adalah salah satu obligor BLBI yang menerima SKL. Saat itu, Bank Dagang miliknya mendapat bantuan likuiditas puluhan triliun. Sjamsul menerima SKL walau kewajiban utangnya belum dilunasi.
Terkait penerbitan SKL BLBI, Laksamana mengklaim tak ada kejanggalan. Ia mengatakan, penerbitan SKL sudah berdasar pada Inpres No 8/2002 yang diterbitkan Presiden Megawati.
"Kebijakannya kan kita jelaskan bahwa memang ini adalah dari TAP MPR lalu ada UU 25 mengenai Propenas tahun 2000 dan Tap MPR No 10 tahun 2001, ada Inpres No 8/2002 dan semuanya adalah out of core statement pemberian kepastian hukum kepada obligor. Memang obligor itu yang telah memenuhi kewajiban pemegang saham yang membayar itu harus diberikan kepastian hukum karena dia mau menandatangani perjanjian," jelas Laksamana.
Laksamana menyebut, bahkan ada obligor yang tidak mau menandatangani perjanjian. "Ada juga obligor yang lari yang tidak mau menandatangani apa-apa. Itu juga sampai sekarang saya kira mereka masih bebas," imbuhnya
Dijelaskan Laksamana, pemerintah saat itu memang memberikan insentif kepada para obligor yang mau bekerjasama untuk mengembalikan BLBI. Insentif itu berupa pemberian SKL agar mereka terlepas dari kasus hukum.
Kejaksaan Agung kala itu mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3 ) terhadap sejumlah kasus BLBI atas dasar penerbitan SKL oleh pemerintah.
"Jadi semangat dari pada UU dan TAP MPR pada saat itu untuk memberikan insentif kepada obligor yang kooperatif dan memenuhi kewajiban pemegang saham tapi bagi yang tidak kooperatif ada beberapa yang mungkin, ada 8-9 orang ternyata lari. Tapi sekarang sudah kembali semua. Kita mendalami banyak hal, terutama proses pemberian SKL tersebut," ungkapnya.
Sekedar informasi, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), akibat dari penerbitan sejumlah SKL kepada para obligor BLBI itu, negara rugi mencapai Rp147,7 triliun. Kerugian itu berasal dari para obligor yang belum memenuhi kewajiban hutangnya tapi sudah diberikan SKL.
© Copyright 2024, All Rights Reserved