Kelima kalinya secara berturut-turut, neraca perdagangan Indonesia pada bulan Mei kembali mencatatkan surplus, sebesar US$ 950 juta. Namun, jangan gembira dulu. Surplus kali ini, bisa jadi bukan sebuah prestasi. Tapi, justru alarm bahaya dari melemahnya kondisi industri nasional.
Penilaian itu disampaikan pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus kepada pers, kemarin. Ia meminta pemerintah tidak terlena dan segera berbenah.
Pasalnya, surplus perdagangan dipicu oleh penurunan tajam impor yang didominasi anjloknya impor bahan baku dan barang modal. Penurunan impor anjlok lebih tajam dibanding penurunan ekspor. Kondisi itu dapat menyebabkan pelemahan kondisi industri nasional dan menurunnya konsumsi domestik hingga beberapa waktu ke depan.
Firdaus menyebut, surplus neraca perdagangan Mei 2015 ini justru merupakan sinyal bahaya, mengingat surplus dipicu impor bahan baku dan barang modal yang anjlok.
“Penurunan impor menunjukkan permintaan industri terhadap bahan baku dan barang modal lemah, dan ini sekaligus menunjukan kondisi industri nasional juga sedang lemah,” ujar dia, kepada pers, Senin (15/06).
Dari sisi ekspor, sambung Firdaus, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini tidak bisa dimanfaatkan kalangan industri nasional untuk mendongkrak ekspor. Hal ini karena industri dalam negeri belum memiliki daya saing yang cukup tinggi. Indonesia tidak akan bisa seperti di negara-negara lain yang sengaja melemahkan nilai tukar mereka guna menstimulasi ekspor.
“Fenemona ekspor yang terjadi di Indonesia saat ini menunjukkan kasus-kasus di negara lain yang sengaja mendevaluasi mata uang mereka untuk memancing kinerja ekspor, tidak bisa diterapkan di Indonesia,” ujar dia.
Ia mengatakan, kinerja ekspor melempem karena kondisi industri nasional yang diimpit beban berat, seperti, input (bahan baku dan barang modal) yang mahal, biaya energi (listrik, gas, bahan bakar minyak) yang juga mahal, serta upah minimum yang tinggi.
“Ditambah lagi, industri di Indonesia harus menghadapi masalah pendanaan perbankan yang mahal. Beban-beban itulah yang membuat industri sulit ekspansi,” tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved