UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan telah disahkan DPR pada 6 Desember 2021 dan diundangkan pada 31 Desember 2021.
Namun, bila kita telisik lebih dalam, terdapat sejumlah pasal dalam UU Kejaksaan yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat karena dianggap memberikan kewenangan berlebihan kepada kejaksaan tanpa disertai pengawasan memadai.
Beberapa pasal dalam UU ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah regulasi ini benar-benar menjamin keadilan tanpa tebang pilih? Atau justru memperkuat kekuasaan tanpa mekanisme kontrol yang memadai?
Sebagai contoh, Pasal 8 Ayat (5) menetapkan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Ketentuan ini dapat menciptakan kesan bahwa jaksa kebal hukum, berbeda dengan warga negara lainnya.
Dalam konteks keadilan, aturan ini berisiko merusak kepercayaan publik terhadap integritas penegakan hukum.
Bagaimana masyarakat yakin bahwa jaksa yang melanggar hukum akan diadili secara setara jika izin pemeriksaan saja bergantung pada satu individu?
Dalam hal penggunaan senjata api oleh jaksa yang diatur dalam Pasal 8B, jaksa yang dilengkapi dengan senjata api menghadirkan dilema serius.
Peran jaksa adalah memastikan keadilan substantif melalui penuntutan hukum, bukan sebagai penegak keamanan.
Jika kewenangan ini tidak diawasi, risiko penyalahgunaan kekuasaan dapat meningkat. Masyarakat yang berharap pada jaksa untuk menegakkan hukum tanpa kekerasan bisa kehilangan rasa aman dengan aturan ini.
Ketentuan tentang rangkap jabatan di luar Kejaksaan (Pasal 11A), Jaksa diberikan hak untuk menduduki jabatan di luar institusi Kejaksaan dengan rangkap jabatan.
Hal ini membuka ruang konflik kepentingan, terutama jika jabatan tersebut berkaitan dengan sektor politik atau ekonomi.
Jaksa sebagai representasi negara dalam penegakan hukum, harus bebas dari tekanan pihak lain. Keberadaan pasal ini dapat melemahkan independensi institusi k Kejaksaan di mata masyarakat.
Pasal yang mengerikan dan berpotensi menjadi masalah adalah tentang kewenangan penyadapan dan Intelijen (Pasal 30B dan Pasal 30C Huruf i).
Perluasan kewenangan Kejaksaan dalam bidang intelijen, termasuk hak untuk melakukan penyadapan, menimbulkan kekhawatiran baru.
Penyadapan adalah aktivitas yang menyentuh hak privasi individu, yang dalam negara hukum harus dilaksanakan dengan kontrol ketat.
Tanpa pengawasan lembaga independen, kewenangan ini rawan disalahgunakan, menciptakan ketidakadilan dalam perlindungan hak asasi manusia.
Selain itu, konsentrasi kekuasaan pada Jaksa Agung (Pasal 35) memberikan kewenangan pada Jaksa Agung untuk mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sejak awal hingga akhir, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Huruf g, memusatkan terlalu banyak kekuasaan pada satu posisi.
Padahal, checks and balances adalah prinsip utama dalam sistem hukum yang adil. Tanpa kontrol eksternal yang memadai, hal ini membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang.
Keadilan publik tidak hanya diukur dari kepastian hukum, tetapi juga dari rasa keadilan masyarakat. Beberapa pasal dalam UU ini berpotensi bertentangan dengan prinsip keadilan restoratif, yaitu upaya untuk menyeimbangkan hukuman dengan pemulihan dampak sosial.
Misalnya, kewenangan Jaksa Agung untuk menggunakan “denda damai” dalam kasus tindak pidana ekonomi (Pasal 35 Huruf k) dapat dianggap memberikan keleluasaan bagi pelaku kejahatan kelas atas untuk lolos dengan pembayaran tertentu, sementara masyarakat kecil yang melakukan pelanggaran kecil justru diproses hukum penuh. Tumpul ke atas, runcing ke bawah.
Ketidakadilan ini dapat memperkuat persepsi bahwa hukum lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan.
Dalam jangka panjang, hal ini merusak legitimasi institusi kejaksaan dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Hal ini membuka celah bagi pelanggaran keadilan dan berpotensi melemahkan supremasi hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mempertimbangkan langkah hukum dengan kembali mengajukan judicial review atau Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada Januari 2022, UU Kejaksaan ini juga pernah digugat ke MK terkait kewenangan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Gugatan itu dilayangkan oleh Ricki Martin Sidauruk dengan mengajukan judicial review Pasal 30C huruf h.
Menurut Pemohon, pranata PK diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya. Dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga PK.
Apabila esensi tersebut dikesampingkan atau ditiadakan dengan memberikan kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK, maka PK kehilangan maknanya dan berpotensi melanggar prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki seorang terpidana.
Di sisi lain, sudah ada Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan jaksa tidak berhak atau berwenang mengajukan PK.
Dengan demikian, berbagai kelompok masyarakat yang merasa dirugikan secara langsung oleh ketentuan UU ini, baik individu maupun organisasi masyarakat sipil, memiliki legitimasi untuk mengajukan judicial review ke MK.
Contohnya, organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) dapat menggugat pasal terkait penyadapan dan penggunaan senjata api.
Kelompok advokat dapat mengajukan gugatan dengan mempertanyakan pasal terkait hak imunitas jaksa yang dapat menghambat proses hukum. Begitu juga akademisi dan aktivis hukum, juga berhak mempertanyakan ketentuan yang dianggap melanggar prinsip keadilan.
Terlebih, gugatan UU Kejaksaan ini berdampak positif bagi penguatan sistem hukum nasional. Jika gugatan ini diterima, MK dapat memberikan tafsir konstitusional yang lebih melindungi prinsip keadilan dan transparansi.
Langkah ini juga akan menunjukkan bahwa masyarakat aktif mengawasi sistem hukum, mendorong Kejaksaan untuk lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, putusan MK dapat memaksa pemerintah dan DPR untuk merevisi pasal-pasal bermasalah, sehingga regulasi yang dihasilkan benar-benar menjunjung keadilan.
UU No. 11 Tahun 2021 mengandung ketentuan-ketentuan yang memerlukan pengawasan lebih ketat untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Masyarakat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, memiliki hak untuk menggugat pasal-pasal yang dirasa bertentangan dengan rasa keadilan publik ke MK.
Gugatan ini bukan hanya untuk memperbaiki regulasi, tetapi juga untuk mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh dikorbankan demi kekuasaan.
Apalagi, judicial review merupakan instrumen demokrasi yang harus digunakan demi melindungi supremasi hukum di Indonesia.
*Penulis adalah Seorang Jurnalis dan Pemerhati Sosial
© Copyright 2025, All Rights Reserved