Rencana tuntutan yang selama ini diterapkan secara berjenjang di Kejaksaan Agung berpotensi dijadikan komoditas untuk diperdagangkan atau disesuaikan dengan kepentingan politik. Otoritas yang bisa menetapkan besarnya tuntutan sangat mungkin menyalahgunakan kewenangannya.
Peringatan itu disampaikan Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDIP, Sumatera Utara II), ahli hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji dan aktivis Indonesia Corruption Watch secara terpisah kepada pers di Jakarta, Kamis (14/5) menanggapi kontroversi rencana tuntutan dalam kasus sabu dengan terdakwa Hartono.
Selama ini, Kejaksaan menggunakan Pedoman tuntutan pidana, yang mengatur tentang tata cara pengajuan tuntutan pidana. Dalam Pedoman berupa Surat Edaran Jaksa Agung yang dikeluarkan tahun 1995, diatur sebelum mengajukan tuntutan, jaksa penuntut umum harus mengajukan rencana tuntutan. Pengajuan dilakukan secara berjenjang, dari jaksa penuntut umum kepada kepala seksi di Kejaksaan Negeri, dan seterusnya. Namun demikian, belum ada standar baku yang menjadi patokan besaran hukuman atas suatu perkara. Akibatnya, pemberian besaran hukuman menjadi sangat subyektif di setiap tingkatan.
Menurut Adnan, subyektifitas inilah yang membuka peluang terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. "Subyektifitas ini membawa peluang penyimpangan, karena memungkinkan dipengaruhi faktor lain, selain fakta hukum yang ada," kata Adnan di Jakarta, Kamis (14/9). "Apalagi, pemberian tuntutan merupakan kebijakan diskresional yang sangat tergantung dari opini para pihak yang terlibat," tambah Adnan.
Di sisi lain, Adnan berpendapat, mekanisme pengajuan rencana tuntutan secara berjenjang ke tingkat yang lebih tinggi -hingga Jaksa Agung- membuat kendali lebih kuat. Artinya, Jaksa Agung dapat memantau, apakah dakwaan sudah benar dan rencana tuntutan sesuai dengan perbuatan yang didakwakan. Hal itu diakui Trimedya. "Hanya katanya, perkara apa yang harus dimintakan rencana tuntutan juga tidak jelas. Apakah semua perkara korupsi atau korupsi dengan nilai tertentu.
Indriyanto berpendapat, justru kebijakan penuntutan yang harus dilakukan melalui rencana tuntutan secara berjenjang, dapat menghindarkan penyalahgunaan wewenang dari jaksa penuntut umum. Pasalnya, ada kontrol dari pihak yang berada di atasnya, bahkan hingga Jaksa Agung.
Meski demikian, Indriyanto mengakui, masih diperlukan aturan yang seragam atau standar tuntutan dalam sebuah perkara yang menarik perhatian masyarakat. Standar ini akan meniadakan ketidakseragaman penuntutan serta subyektifitas pemberian tuntutan secara berjenjang. Dengan demikian, keadaan yang muncul akibat perbedaan tuntutan dalam perkara serupa, dapat terhindarkan. "Misalnya, untuk perkara yang menjadi prioritas, bikin standarisasi, sehingga dari awal diberi tuntutan tinggi," tukas Indriyanto.
Selama ini, muncul kecenderungan bahwa rencana tuntutan yang diberikan oleh pihak di jajaran atas akan lebih tinggi daripada rencana tuntutan yang diberikan jajaran di bawahnya. Namun, tidak ada alasan baku, mengapa pihak di atas memberikan tuntutan yang tinggi. Akibatnya, saat pihak yang di jajaran atas memberikan tuntutan yang lebih rendah, -terlepas benar atau salah- muncul dugaan intervensi pihak lain. Misalnya, dalam perkara korupsi KPUD DKI Jakarta.
Dicontohkan juga mengenai perkara sabu 20 kilogram dengan terdakwa Hariono Agus Tjahjono. Tidak ada pedoman mengapa Kejaksaan Negeri Jakarta Barat memberikan tuntutan 5 tahun, kemudian Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menuntut 6 tahun.
© Copyright 2024, All Rights Reserved